Review Spider-Man: No Way Home, Terbaik Sejak Spider-Man 2

Cuma di dunia komik, pemuda yang digigit oleh laba-laba radioaktif tidak berakhir di ranjang rumah sakit, melainkan bisa tersangkut di jaring-jaring IP dua studio besar. Menghasilkan berbagai franchise film dan media kultur-pop lainnya. Dan cerita pemuda tersebut bahkan tampak belum berakhir. Seperti yang kita lihat dalam Spider-Man terbaru dari MCU ini, cerita Peter Parker sebagai “Your Friendly Neighborhood Spider-Man” baru mencapai titik tak-bisa-kembali; thus berjudul No Way Home. Menarik melihat apakah kata itu bakal teraplikasikan juga untuk keadaan brand Spider-Man itu sendiri. Banyaknya ‘jenis’ Spider-Man memang membuat cerita crossover menjadi tak bisa dihindari lagi. Kemungkinan Multiverse yang sudah mulai dieksperimentasikan Sony dalam animasi Into the Spider-Verse tahun 2018 lalu kini benar-benar dilakukan oleh MCU. Karakter-karakter dari beragam film Spider-Man yang telah kita kenal dipertemukan. Pertanyaan yang menggantung adalah; Bisakah sutradara Jon Watts menangani itu semua, mengingat Spider-Man versi Sam Raimi dan Marc Webb terbukti kandas saat menampilkan segitu banyak karakter dalam satu film?

Menyambung langsung cerita dari film kedua, No Way Home dimulai ketika identitas Peter Parker sebagai Spider-Man bocor kepada publik. Apalagi berkat video rekaan Mysterio yang terus digoreng oleh media, Peter kini mendapat cap buruk. Dia dituduh sebagai kriminal, sebagai pembunuh, oleh sebagian besar orang. Hari-hari dia hidup normal sudah lewat. Dan hidup-yang-menjadi-sulit tersebut juga berdampak kepada orang-orang terdekatnya. Maka Peter minta tolong kepada satu-satunya penyihir yang ia kenal. Peter meminta Dr. Strange untuk merapal mantra yang bisa membuat ingatan semua orang tentang identitas superheronya hilang. Tapi, karena suatu keadaan, mantra tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya. Permintaan Peter malah mengundang orang-orang dari universe lain masuk ke dunia mereka. Orang-orang jahat berkekuatan super yang punya dendam dengan sosok Peter Parker sang Spider-Man.

Jaring-Jaring Multiverse telah Dibuka!

Kini kita gak perlu berandai-andai lagi gimana Spider-Man Tom Holland berhadapan dengan Sandman dan Electro sekaligus, atau apa yang bakal diomongin para penjahat Spider-Man seperti Doc. Ock dan Lizard kalo mereka ngumpul bareng. Segala kemungkinan crossover semakin terbuka oleh film ini. Penjahat dari dua universe Spider-Man; Green Goblin, Sandman, dan Doc. Ock (Sam Raimi’s) serta The Lizard dan Electro (Marc Webb’s) dihadirkan sebagai karakter dengan peran cukup signifikan bagi perkembangan Spider-Man. Sebagian besar nilai hiburan yang dimiliki No Way Home memang berasal dari terbukanya multiverse tersebut. Kita melihat interaksi karakter-karakter. Baik itu aksi, maupun dialog, semuanya terasa menyenangkan. Juga memuaskan nostalgia; bagi penonton yang sudah mengikuti film Spider-Man sejak pertama kali dibuat. Kita sekali lagi bisa melihat meyakinkannya akting Alfred Molina sebagai Otto Octavius. Dan, tentu saja, Willem Dafoe yang luar bisa kembali menjadi makhluk jahat berkepribadian ganda.

Menyaksikan di bioskop yang full satu studio, aku bisa merasakan energi yang berasal dari rasa penasaran penonton mengalir. Listrik dari Electro seolah keluar mengisi studio! Sorakan ketika karakter tertentu muncul, wuih, ramenya reaksi penonton bahkan melebihi reaksi ketika para superhero bermunculan di final battle Avengers: Endgame. Bisa sangat menggelora seperti ini tentu saja bukan karena penonton sedari awal sudah dibuat harap-harap cemas menanti kemunculan/crossover karakter. Melainkan juga karena Jon Watts mem-build up setiap kemunculan dengan tepat. Ketika Spider-Man berayun di senja hari berlatar bayang-bayang gardu listrik, antisipasi kita langsung naik. Ketika Ned dan MJ membuka portal mencari Peter Parker yang sedang dalam keadaan terendah hidupnya, kita langsung deg-degan.

Kunci keberhasilan Watts menampilkan karakter yang banyak itu ada dua. Pertama, mereka tidak pernah digunakan sebagai ajang nostalgia ataupun fans service semata. Tentu, ada momen-momen ketika para karakter penjahat itu malah ngobrolin eksposisi perbuatan mereka – seolah merangkum cerita untuk penonton yang belum pernah menonton film-film terdahulu. Akan tetapi, momen tersebut tidak pernah memberatkan cerita. Durasi dua jam setengah itu dimanfaatkan dengan efektif, dengan seimbang. Tau dan sadar waktu kapan harus menyuguhkan fans service, kapan harus memajukan narasi, dan sebagainya.

Dengan dibukanya Multiverse ini, tentu saja, cerita-cerita Marvel akan terus semakin besar. Setidaknya, dengan film ini, MCU telah melakukan langkah yang menjanjikan. Karena jika Spider-Man harus belajar menerapkan bahwa “kekuatan yang besar akan menuntut tanggung jawab yang besar”, maka film ini paham bahwa:

IP yang Besar, Menuntut Tanggung Jawab yang Besar

Tidak sekalipun film ini terasa kayak iklan IP-IP Marvel maupun Sony. Sutradara Watts memperlakukan cerita dari beragam ‘produk’ ini dengan penuh hormat. Dia membuat film ini ringan dan menghibur, tapi tetap punya hati di baliknya. Sama seperti Spider-Man versi dirinya yang pertama (Homecoming) Watts paham apa-apa yang bekerja, dan yang tidak bekerja, pada brand atau universe yang sedang ia tangani ini. Dia gak ragu untuk menjadikan hal tersebut sebagai materi. Momen-momen terlucu film ini justru datang dari karakter yang ngebecandain universe yang lain. Misalnya ketika ada satu karakter yang merasa paling cupu di antara versi universe lain, lalu ada karakter yang menghiburnya dengan bilang “Hey, kamu keren kok, buktinya ada ‘Amazing’-nya”. Atau ketika Electro-nya Jamie Foxx terang-terangan bilang dia lebih suka dirinya di universe ini, ketimbang di universe-nya sendiri karena di sana penampilannya kayak orang bego.

Kreativitas dan respek itu tidak dilakukan sebatas IP lain yang dicomot masuk saja. IP Marvel lain yang turut dihadirkan pun mendapat perhatian dan treatment serupa. Setidaknya ada dua sekuen aksi/berantem luar biasa yang dipunya oleh film ini berkat kepahaman pembuatnya terhadap mitologi karakter dan semesta-cerita. Adegan laga di Dunia Cermin (dengan visual superkeren, tapi mungkin bisa bikin pusing) dan final battle berlatar Patung Liberty yang tengah direnovasi dengan tameng seperti punya Captain America. Bukan saja koreografi jurus-jurus kombonya sangat asik untuk dilihat, tapi sifat karakter turut memperkuat sekuen tersebut. Keramaian dan konteks cerita di baliknya mampu membuat kita melupakan ‘dosa’ enggak menghadirkan karakter jahat orisinil film ini.

Sebagian besar karakter-karakter yang hadir diberikan kesempatan untuk menyelesaikan masalah masing-masing yang mereka bawa dari film/universe terdahulu. Inilah yang menjadi bobot untuk film. Mereka gak sekadar untuk seru-seruan. Naturally, film ini sebenarnya cukup sedih. Ada banyak kesusahan yang harus dilalui protagonis kita. Sehingga, para aktor termasuk yang muda seperti Zendaya mendapat kesempatan lebih banyak untuk mengeksplorasi range mereka. Dan tentu saja, si Peter Parker sendiri.

Hal kedua yang jadi kunci keberhasilan film ini adalah tidak melupakan ini cerita Peter Parker. Inti No Way Home bukan tentang kejadian multiverse, bukan tentang dunia yang kini membuka. Melainkan tentang:

Pembuktian Diri Peter Parker Sebagai Seorang Superhero

Salah satu kritikan terbesarku terhadap dua film Spider-Man garapan Jon Watts sebelum ini adalah Peter Parker yang kayak kurang dapat cobaan. Apalagi jika dibandingkan dengan Peter Parker versi Tobey Maguire dan versi Andrew Garfield. Peter versi Tom Holland adalah yang paling muda, dan film sebagian besar masih menunjukkan dia menghadapi masalah anak sekolahan yang biasa. Tentu, ini juga jadi pesona tersendiri – kita lebih mudah relate dengan Peter versi Holland – namun tak urung journey-nya terasa kurang nendang. Ternyata, semua cobaan atau rintangan yang aku nantikan itu baru diberikan kepada Peter versi Holland pada film ini.

Sejak film pertamanya, Peter Parker versi ini selalu berada di posisi anak-paling-muda, dalam artian, selalu sebagai orang yang dibimbing. Ketika dia beraksi, Peter Parker selalu masih seperti mencoba belajar dan mengembangkan kekuatannya sebagai superhero. Tanggung jawab masih diberikan perlahan. Mulai dari Tony Stark, Mysterio, hingga agen Happy semuanya masih semacam mentor buat Peter. Seperti yang kusebut tadi, mostly masalah Peter masih sebatas masalah anak muda. Masalah sekolah, pacar, sahabat, pembimbing, dan sebagainya. Baru di No Way Home inilah masalah Peter menjadi semakin dalam. Dia harus bikin keputusan sendiri. Dan lantas harus bertanggungjawab atas keputusan tersebut. Peter dalam film ini memutuskan untuk menolak bimbingan Dr. Strange, dan actually pengen menjadi superhero dengan caranya sendiri. Peter berusaha menyelamatkan para penjahat, membawa mereka ke jalan yang benar. Dan tanggung jawab Peter terhadap keputusannya itu akan sangat, amat, berat.

Sebagai anak muda menyelami apa sebenarnya arti dari menjadi superhero. Menghadapi resiko dan memutuskan sendiri. Ini adalah journey pendewasaan, dan Tom Holland memainkannya dengan delivery emosi yang tepat. Membuat kita tersentuh, dan peduli. Gimmick multiverse itupun akhirnya berubah menjadi panggung yang sangat sesuai untuk perjalanan karakter ini. Karena tidak ada lagi cara yang lebih tepat bagi Peter Parker ini membuktikan dirinya pantas menjadi Spider-Man selain dengan melakukan itu di depan karakter-karakter di dunia Spider-Man sebelumnya.

Jadi, untuk menjawab pertanyaan di awal ulasan; Ya, Jon Watts bisa dengan seimbang menceritakan keseruan multiverse serta perjalanan emosional seorang Peter Parker. Film No Way Home ini memang berhasil dan bisa kita sebut sebagai film Spider-Man terbaik, yang telah kita tunggu-tunggu sejak Spider-Man 2.

Ditulis oleh Arya Pratama Putra dari mydirtsheet.com

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s