Usai menggarap lima film komedi drama secara berturut-turut, Ernest Prakasa mencoba peruntungannya sekaligus bereksperimen dengan genre thriller yang sama sekali asing baginya. Meski menawarkan premis menarik seputar satu keluarga yang rahasia busuknya terungkap karena kehadiran seorang perempuan misterius, Teka-Teki Tika nyatanya berakhir sebagai sajian yang terasa membingungkan dan tak menggigit. Selain tak memberikan porsi memadai bagi pengembangan karakter yang menyulitkan bagi penonton untuk mengenal dengan baik para karakter kunci dalam film, Ernest juga belum lihai membangun intensitas sehingga daya cekam nyaris absen di sini. Pun begitu, film ini masih memiliki nilai hiburan yang cukup melalui kemunculan satu cameo mengejutkan serta asupan humornya yang menggelitik saraf tawa.

Selepas kesuksesan secara beruntun dari Ngenest (2015), Cek Toko Sebelah (2016), Susah Sinyal (2017), Milly & Mamet (2018), hingga Imperfect (2019), mudah untuk mengira kalau Ernest Prakasa akan kembali bermain-main di ranah komedi drama keluarga yang topik pembahasannya tidak jauh-jauh dari diskriminasi, rekonsiliasi, dan penerimaan diri untuk karya terbarunya. Tapi munculnya pandemi Covid-19 yang sempat membuatnya mengalami kebuntuan ide serta mungkin saja kejenuhan, Ernest lantas mencoba untuk memompa semangatnya sekaligus menantang diri sendiri dengan menjajal genre yang belum pernah disentuhnya.
Dalam karya keenamnya yang bertajuk Teka-Teki Tika di mana dia masih menduduki posisi sutradara beserta penulis skenario, penggenggam Piala Maya dan Piala Citra ini bermain-main di ranah thriller. Sebuah pilihan yang cukup mengejutkan, bukan? Pun begitu, Ernest tidak serta merta menghadirkan tontonan yang sama sekali berbeda dari sebelumnya karena dalam film ini pun kita masih menjumpai beberapa ciri khasnya seperti elemen komedi yang masih bertebaran disana sini, karakter beretnis Cina sebagai sentral cerita, dan drama keluarga dengan segala intriknya. Pada dasarnya, Teka-Teki Tika lebih bisa dibilang sebagai Cek Toko Sebelah versi kalangan borjuis ketimbang Knives Out yang sama sekali nggak ada mirip-miripnya itu.
Alih-alih toko kelontong, pemimpin keluarga dalam Teka-Teki Tika yakni Budiman (Ferry Salim) menjalankan perusahaan konstruksi yang dimiliki oleh orang tua istrinya, Sherly (Jenny Zhang bermain ciamik). Sepintas lalu, pasangan suami istri tampak memiliki kehidupan yang diidam-idamkan oleh banyak orang. Fisik sempurna, bergelimang harta, dan harmonis. Siapa yang tidak iri? Mereka juga dikaruniai dua putra yang siap meneruskan tampuk kepemimpinan di perusahaan meski kerap berselisih paham karena karakteristik keduanya yang bak bumi dan langit; Arnold (Dion Wiyoko) si sulung yang cenderung kaku serta adiknya, Andre (Morgan Oey), yang berjiwa bebas.
Tapi ‘kebahagiaan’ keluarga Pak Budiman seketika terusik ketika mereka kedatangan tamu misterius di hari perayaan ulang tahun pernikahan Budiman dengan Sherly. Tamu bernama Tika (Sheila Dara Aisha) tersebut mengaku sebagai anak perempuan dari hasil perselingkuhan Budiman. Mulanya, tak ada seorang pun yang memercayai klaim dari Tika dan hanya menganggapnya sebagai ancaman ngaco demi segepok duit. Namun saat rahasia demi rahasia kecil yang hanya diketahui oleh segelintir orang meluncur dengan mulus dari mulut Tika, keutuhan keluarga ini pun perlahan mulai retak. Mereka lantas menaruh curiga antara satu dengan yang lain sembari bertanya-tanya, “siapa sebenarnya Tika?”

Harus diakui, Teka Teki Tika sejatinya punya modal premis yang menarik. Tentang rahasia busuk yang membayangi satu keluarga kaya yang sempurna. Hanya saja, premis yang sedemikian menggigit ini urung dikembangkan menjadi narasi berisi intrik-intrik kompleks yang siap menerjang di setiap sudut. Laju penceritaannya kelewat ngebut – agaknya agar penonton muda tak kebosanan kala menonton – sampai-sampai saya mengalami kesulitan untuk mengidentifikasi karakteristik sekaligus persoalan yang dihadapi oleh setiap personil keluarga Pak Budiman. Ya, film memang tidak pernah memberikan introduksi yang layak untuk para karakter yang memegang peranan krusial di sini.
Mereka sebatas dikenalkan sebagai tokoh-tokoh stereotip setipis kertas seperti si ayah yang pemarah, si ibu yang tegas, si sulung yang kaku, si bungsu yang slengean, sampai si misterius yang sedikit-sedikit tertawa bak karakter antagonis. Apa alasan mereka menjadi seperti itu? Tak pernah terjelaskan. Padahal sebagai sajian misteri yang narasinya bergantung sepenuhnya pada aib yang dipendam oleh para karakter, kedekatan penonton dengan para karakter adalah perkara krusial. Saat kita tak diberi ketertarikan untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana ‘warna asli’ dari tiap karakter dan si pembuat film tak juga tertarik untuk membedahnya lebih dalam, maka dia sudah melunturkan intensitas dalam film. Mengapa kita harus berdebar-debar menanti rahasia apa yang hendak dibocorkan oleh Tika jika kita tak pernah mengenal para target?
Inilah persoalan terbesar yang dihadapi oleh Teka-Teki Tika dan kecepatannya dalam bertutur juga membuat semuanya terasa serba tiba-tiba. Tiba-tiba saja digelar makan malam untuk merayakan ulang tahun pernikahan, tiba-tiba saja Tika datang lalu mengumbar aib, dan tiba-tiba saja Tika mengungkap alasan sebenarnya dibalik kedatangannya. Penonton tak pernah diberi kesempatan untuk mencerna apa yang sesungguhnya ingin disampaikan oleh film ini padahal ada kritik besar nan menohok mengenai tindak korupsi dan dampaknya pada masyarakat kecil yang berpotensi memantik bahan obrolan yang menarik andaikata narasinya mengalir lancar tanpa kendala. Sungguh amat disayangkan.
Saya pribadi jelas sangat ingin melihat eksperimennya Ernest ini berhasil karena selain dapat memacu semangat sang sutradara untuk mengeskplor genre berbeda, keberhasilan tersebut jelas akan mendorong sineas lain untuk mencoba dan menghadirkan banyak warna baru bagi perfilman Indonesia. Namun dibalik upayanya membesut tontonan thriller yang ternyata belum berhasil, Ernest sebetulnya masih memberi hiburan yang menyenangkan melalui sajian teranyarnya ini.

Kehadiran cameo mengejutkan dalam epilog cukup panjang yang amat menarik serta keputusan memanfaatkan Tansri Kemala (dalam debut akting yang impresif) untuk melontarkan celetukan-celetukan menggelitik tanpa memandang waktu memang menghadirkan problematika lain berupa nada pengisahan yang inkonsisten. Tapi mesti diakui, keberadaan mereka juga menghadirkan kesenangan bagi film. Kita dibuatnya tertawa, kita dibuatnya terperangah, dan kita dibuatnya bersemangat. Selain itu, Teka-Teki Tika juga mencuri perhatian berkat kinerja ciamik dari departemen artistik dan sinematografi yang memungkinkan untuk pertama kalinya film garapan Ernest Prakasa punya tampilan visual yang terlihat mahal.
Ulasan ini ditulis oleh Taufiqur Rizal pemilik akun Twitter @TarizSolis