Big world, high concept & terrific cast, Chloé Zhao dan Eternals-nya jelas semakin melebarkan semesta Marvel Cinematic jauh menembus batas zona yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Bersama keindahan visual dan adegan aksi yang megah, menjadikannya salah satu edisi MCU tercantik yang pernah dibuat. Meski harus dibayar dengan kualitas penceritaan yang tak maksimal untuk bisa menerjemahkan konsep kosmik super ambisiusnya. But overall, it’s still good and fresh superhero movie.

Dari situs Rotten Tomatoes sampai Metacritic, semua sepertinya kompak untuk beramai-ramai membombardir film superhero terbaru Marvel Studios ini dengan ulasan demi ulasan luar negatif, sampai-sampai Eternals pun harus rela mendapatkan cap sebagai edisi terburuk dari Marvel Cinematic Universe (MCU). Belum lagi saya menyebut soal rumor kontroversi religius, pro LGBTQ sampai status kewarganegaraan sang sutradara yang membuatnya mendapatkan ancaman boikot tayang di beberapa negara timur tengah dan Tiongkok. Jadi apakah benar Eternals memang sampai seburuk itu?
Seperti Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings, Eternals menjadi bagian awal dari fase ke-4 MCU yang menghembuskan nafas segar tersendiri setelah kehancuran besar-besaran yang dibuat Thanos di Avengers: Infinity War dan Avengers: Endgame. Bicara soal kesegaran, Eternals tidak main-main. Tidak seperti Shang-Chi yang aroma MCU-nya masih bisa kita rasakan melalui benang merah kehadiran sosok Wong, Eternals tampil layaknya sebuah film stand alone yang asing dengan nada lebih serius ketimbang lebih banyak film Marvel lain, sama asingnya dengan cerita tentang para Eternals, sekelompok alien humanoid abadi yang sudah ada sejak awal peradaban manusia 7000 tahun silam. Mereka adalah Ajak (Salma Hayek), Sersi (Gemma Chan), Ikaris (Richard Madden), Kingo (Kumail Nanjiani), Sprite (Lia McHugh), Phastos (Rian Tyree Henry), Makkari (Lauren Ridloff), Druig (Barry Keoghan), Gilgamesh (Don Lee) dan Thena (Angelina Jolie) yang juga disebut dengan para Eternals yang ditugaskan untuk melindungi bumi dari ancaman serangan Deviants tanpa boleh mencampuri konflik manusia.
Luas, besar, cantik dan ambisius, begitu saya menggambarkan konsep dari dunia ‘baru’ yang ditawarkan Chloé Zhao dengan Eternals-nya yang menembus batasan jagat MCU yang selama ini kita kenal, sama luas dan cantiknya dengan lanskap pemandangan tangkapan kamera berlensa lebar dari film-film Zhao terdahulu. Hanya saja The Rider dan Nomadland memang tidak pernah seambisius cerita tentang menembus waktu dan penyelamatan manusia dan buminya bersama konsep kosmik skala grande dari para pahlawan super anyar Marvel yang tentu saja kali ini dipoles dengan lebih banyak CGI mahal, membuat Eternals tak diragukan lagi tampil menawan di departemen visual dan spesial efeknya, membuatnya menjadi salah satu edisi MCU yang paling cantik.

Tapi di sini masalahnya. Lepas dari kecantikan kulit luarnya yang memesona, Eternals ternyata cukup menderita di penceritaannya karena di satu sisi ia harus bisa mempertahankan mega konsep antar galaksinya yang kompleks, di sisi lain ia juga mesti tersaji lebih bersahabat buat penonton yang lebih luas, terlebih buat mereka yang tak pernah mengenal Eternals dari komiknya. Memang bukan tugas yang mudah buat Zhao dan tim penulisnya untuk bercerita tentang eksistensi manusia dan filosfi God complex di durasinya yang terbatas. Ya, 157 menit mungkin terlihat panjang untuk ukuran film normal, tapi percayalah Eternals membutuhkan lebih banyak menit lagi untuk bisa memperkenalkan, tak hanya narasi dan universe kosmik ambisiusnya, tapi juga 10 karakternya yang mempunyai posisi nyaris sama pentingnya.
Dan sangat disayangkan, Zhao bisa dibilang sedikit keteteran dengan pace tak teratur bersama segala rentetan flashback acak yang tak terlalu banyak membantu untuk bisa mengenal dunianya lebih jauh. Mungkin solusi dipecah dua film bukan hal yang populer tapi untuk kedalaman penceritaan ini bisa menjadi solusi yang lebih baik sebelum benar-benar mengakhirinya dengan sedikit keterpaksaan yang terlalu cepat seperti yang terjadi di paruh ketiganya dan grand finale-nya yang memberi lebih banyak pertanyaan ketimbang jawaban.

Kesuksesan Eternals sebagai sebuah film hampir seluruhnya dapat dikaitkan dengan pertunjukan dan hubungan antar karakternya. Zhao beruntung punya dukungan ensemble cast dengan kualitas ciamik, namun yang istimewa adalah bagaimana ia memperlakukan setiap karakter dalam porsi pantas yang sama pentingnya. Tak sempurna memang, tapi dengan benturan durasi ini masih terhitung sebuah pekerjaan bagus. Memang Sersi dan Ikarus didapuk sebagai motor penggerak cerita dengan segala relasi dan romantika intim mereka yang kompleks, buah dari perjalanan ribuan tahun, namun bukan berarti karakter lain macam Ajak kehilangan pesonanya sebagai pemimpin kharismatik para Eternals atau relasi emosional antara Gilgamesh dan Thena (Angelina Jolie tampil mengesankan di sini) atau hubungan Druig dan si Makkari yang mencuri perhatian.
Tiap karakter tak hanya punya kekuatan spesial yang berbeda satu sama lain tapi mereka juga punya peran untuk membuat variasi pada narasinya. Lihat misalnya Kingo dan Phastos yang menghidupkan sisi komedi dengan humor bersama, Karun (Harish Patel) satu-satunya karakter manusia yang mendapat kehormatan mendokumentasikan kegiatan para ‘dewa’ , dan least but not last, ada si kecil Sprite yang menyenangkan.
Ya, Eternals mungkin tak akan jadi edisi terbaik MCU, bukan hanya karena ia masih terasa asing buat sebagian besar penontonnya sebagai sebuah awal yang berbeda dari franchise superhero paling populer sejagat raya dengan segala karakternya yang tak akrab tanpa punya benang merah berarti, namun juga kesulitan Zhao untuk memperkenalkan dunia baru yang masif dengan mitologinya yang kompleks dengan penceritaan tak maksimal karena durasi dan banyaknya karakter. Beruntung Eternals tampil cantik seperti lukisan kosmik dengan karakter-karakternya yang memesona plus momen aksi yang harus diakui disajikan luar biasa tanpa terlihat kelewat bombastis.
Ditulis oleh Hary Susanto a.k.a Hafilova