
Ditulis oleh Faraha Helmi a.k.a xipe
Adalah feature film wakil dari Denmark dalam perhelatan Europe on Screen (EoS 2022) yang sedang berlangsung di beberapa kota di Indonesia. Film yang sepintas gimmick-nya menjual tentang kuliner (sempat pula disinggung oleh festival Co-Director Nauval Yazid sebelum pemutaran), namun usut punya usut ternyata menyinggung beberapa permasalahan hidup juga, Ditayangkan secara hybrid, offline & online, apakah worthy disaksikan di venue? Dan apakah filmnya selezat yang dibayangkan? Well, it’s about fifty-fifty.
Sebagai film yang katanya merupakan sebuah film kuliner, foodie movie bahasa kerennya, A Taste of Hunger diawali dengan cukup menjanjikan, ada vibe masak-masak, dapur, hidangan makanan beserta dengan chef-nya, ala-ala Master Chef begitulah, tapi itu hanya sebatas di awal sebelum akhirnya masuk ke pengenalan karakter sentral yang nantinya bermuara sampai akhir. Perkenalan cinta lokasi, egonya chef yang perfeksionis, sampai ambisi mendapatkan kedigdayaan bintang Michelin yang sayangnya agak jumpy, out of focus pada separuh awal, sehingga filmnya terasa menjadi kurang lezat dikunyah. Ada atensi menarik terkait foodie movie yaitu dengan adanya style prolog seputar kulineran yang berfungsi menggerakkan plot, mungkin dimaksudkan sebagai metafora dari permasalahan hidup itu sendiri yang mana kadang adakalanya manis, asam, pahit, pedas, namun dikarenakan ritmenya jumpy ini sifatnya menjadi tasteless.
Film beranjak mulai memiliki rasa ketika memasuki separuh akhir, saat permasalahan anak dan orang ketiga masuk, inilah yang semakin memperkokoh kalau bahwasanya ini adalah film drama perselingkuhan bukan kuliner, yap, film perselingkuhan berbumbu kuliner, bukan sebaliknya. Lupakan perihal kedigdayaan bintang Michelin yang porsinya hanya sekelebet-sekelebet, menu utama di sini adalah istri yang gatelan. Orang ketiga yang masuk sebenarnya agak kurang kohesif tapi permasalahan menjadi lebih panjang, menarik, dan intens berkat masuknya keusilan serta keresahan anak terhadap orang tuanya sehingga timbul kesalahpahaman, meskipun nanti tercipta konklusi yang cukup make-sense.
Konklusinya sendiri berpotensi memberikan berbagai macam rasa, bisa manis, bisa asam, bisa asam manis, karena jikalau kita melihat dari berbagai sisi, keluarga yang kembali utuh dan bahagia jelas sebuah kehangatan, namun istri gatelan yang dosanya tertutupi jelas sebuah pembodohan, alhasil bintang Michelin yang didapat tidak begitu rewarding.
Ditulis oleh Mochammad Hanif Rachman a.k.a. Hanif AR
Disuguhkan dengan visual-visual magis dan pencahayaan melankolis, Film yang disutradarai oleh Christoffer Boe, seorang sutradara berkebangsaan Denmark ini mengisahkan tentang drama romansa pasangan paruh baya yang mengalami pertikaian dalam rumah tangga mereka, yang memiliki benang merah dengan mimpi masa muda mereka. Dengan durasinya yang sepanjang 1 jam 44 menit, sang sutradara berusaha menyandingkan dunia culinary dengan hiruk pikuk rumah tangga.
A Taste of Hunger yang disajikan dengan gaya penceritaan per babak membawakan kisah Maggi, istri dari Kepala Koki bernama Carsten yang berusaha menaikan pamor mereka di bisnis kuliner. Namun kabar burung akan kedatangan seorang kritikus Michelin ke restoran mereka berujung tersingkapnya perselingkuhan yang dilakukan Maggi.
Sebagai film drama romansa, sebenarnya tema yang dibawakan A Taste of Hunger terbilang biasa-biasa saja. Tidak ada inovasi pada penceritaan, ataupun momen-momen yang worth to be praised of. Bukan berarti filmnya jelek, tetapi memang tidak ada substansi segar yang dibawakan. Satu-satunya daya tarik yang hampir membuat film ini menjadi istimewa ialah caranya membandingkan kehidupan rumah tangga dengan filosofi memasak tadi. Memasak merupakan sebuah proses yang elegan, penuh intrik dan teatrik, sekaligus merupakan bagian penting dari cara manusia bertahan hidup. Sayangnya, elemen memasak pada film ini hanya menjadi sampingan saja dan tidak terintegrasi dengan baik dengan dramanya.
Memasak di film ini hanya selipan untuk mendorong tema utama asam-garam perselingkuhan. Bahkan menurut penulis pribadi, sinematografi memasaknya juga hanya kuat dibagian pembuka. Selebihnya, sang sutradara sama sekali tidak memperhatikannya. Agaknya, film A Taste of Hunger sama-sama gagal dalam membuat film yang membuat penonton craving akan makanan maupun drama.
Dari departemen penata suara sepertinya juga kurang maksimal dalam memainkan musik pengiring sehingga filmnya benar-benar terasa kering. Sutradara Boe juga nampaknya enggan untuk memuluskan jalan cerita film, di mana begitu banyak adegan flashback yang mengganggu jalan cerita di masa kini. Meskipun konflik yang disuguhkan tidak begitu menggugah, sang sutradara dengan cerdiknya menyimpan kartu AS yang menjadi sebuah kejutan menjelang penyelesaian konflik.
Jika Anda tertarik untuk menonton film ini karena penasaran dengan dramanya, kemungkinan Anda akan kecewa. Namun yang penulis patut acungi jempol ialah pemilihan tempat dan pengambilan gambar lanskap-lanskap Denmark yang begitu cantik dan anggun. Sinematografi lokasi-lokasinya yang peaceful dan soothing sedikit banyak sukses menambal kekurangan di film ini.
Baca artikel ini setelah nonton filmnya. Ajib! Keren asli.
LikeLike