Review Titane (2021), Antara MOBIL-isasi Gairah Seksual dan Total CAR-nage

Dalam film keduanya, Julia Ducournau menghadirkan suatu kisah yang bahkan lebih raw dibandingkan film debutnya, Raw (2016). Bagaikan lapisan-lapisan lempeng besi yang menghiasi eksterior sebuah mobil, TITANE (2021) penuh dengan lapisan metafora yang crude namun kuat dalam melindungi kisah lembut yang berlindung di dalamnya. Lapisan luar pemenang Palme d’Or di Cannes 2021 ini hadir bagaikan percampuran psychologicalthriller tentang pembunuh bayaran, literotica penuh MOBIL-isasi gairah seksual, serta elemen body horror yang susah untuk tidak dikaitkan dengan karya-karya terbaik David Cronenberg. Ada seks dengan mobil, ada adegan aksi pembunuhan sumpit, ada operasi plastik otodidak, dan ada banyak hal lagi yang tak terbayangkan sebelumnya. Dari tampilan luarnya, susah untuk tidak mengasosiasikan film ini dengan kumpulan film-film eksploitasi tempo dulu. Namun, jika bersedia masuk ke dalamnya, interior film ini menawarkan sesuatu yang bertolak belakang dari berbagai depravity di luarnya. Di dalamnya ada sebuah kisah hangat tentang krisis identitas yang ditawarkan dengan begitu lembut, tanpa menghakimi.

Agathe Rouselle memerankan tokoh utama dalam TITANE (2021)

Rasa tidak nyaman yang akan dihadirkan TITANE seolah sudah di-tease lewat opening-nya. Begitu juga dengan tema besar yang akan disampaikannya. Rasa tidak nyaman itu seolah berhembus di tengkuk ketika kita melihat seorang anak kecil — yang secara fisik susah untuk diidentifikasikan dengan salah satu gender — sengaja mengganggu ayahnya yang tengah menyetir. Seolah-olah kita tahu apa yang akan terjadi selanjutnya dan film ini seakan mengamininya. Semua yang dapat berakhir buruk akan berakhir buruk, begitu kredonya. Kecelakaan terjadi secara kilat tapi sangat disturbing, meskipun tidak graphic.

Sang anak, Alexia (diperankan oleh Agathe Rouselle ketika dewasa) selamat; tapi, ia kini harus memakai plat titanium di kepalanya yang akan membuat tatapan penonton secara tidak langsung terus melirik ke arahnya — bagaikan melihat rombongan sirkus di keramaian. Penampilan nonbinernya sebagai seorang anak akan terus terbawa sampai film selesai, bahkan termanifestasikan dalam tema besarnya. Sudah begitu, hubungan Alexia dengan mobil tak selesai sampai di kecelakaan yang nyaris merenggut nyawanya itu. Justru, ia kini cinta mati dengan mobil. Pertanyaannya: apa sebenarnya TITANE kalau bukan film tentang non-binary?

Fetish terhadap mesin bukanlah suatu karakterisasi yang tiba-tiba muncul dalam benak ketika melihat kelakuan Alexia. Di titik ini, Alexia termanifestasikan sebagai seorang wanita muda yang peculiar. Namun, Ducournau lihai untuk membuatnya tidak sehitam-putih itu. Untuknya, ia menulis Alexia sebagai sesosok misantrofis — antisosial yang tak segan membunuh dengan tanpa ampun. Namun, ini bukanlah kisah tentang manusia melawan mesin, melainkan melawan kaidah-kaidah yang menjadikan seseorang manusia seutuhnya. Sifat ini yang akan membawa film ini ke ranah selanjutnya yang mungkin terlalu underrated jika hanya disebut ‘mengejutkan.’

Untuk sampai di titik tersebut itu, Ducournau memperkenalkan tokoh penting selanjutnya, Vincent (Vincent Lindon), seorang petugas damkar yang anaknya hilang ditelan bumi. Kebencian Alexia terhadap sesama manusia lah yang akhirnya membawanya kepada Vincent. Rentetan pembunuhan berantainya harus berakhir dan ia harus mengubah penampilannya menjadi pria & menyamar sebagai Adrien, anak Vincent yang telah lama hilang (di sinilah adegan operasi plastik otodidak berlangsung), untuk menyelamatkan diri. Permasalahannya adalah: Alexia hamil akibat hasil persetubuhannya dengan mobil.

Vincent memperkenalkan konflik utama film ini: krisis identitas. Apalah identitas baginya? Segalanya. Identitasnya sebagai pria alfa tak mengizinkannya untuk melemah secara fisik. Untuk itu terus menyuntik dirinya dengan steroid — menyangkal penuaan yang dialaminya. Identitasnya sebagai ayah, yang tercederai oleh kelalaiannya menjaga putranya, memaksanya menjadi figur ayah bagi kompinya. Seluruh petugas damkar dijadikannya putra, sebagai ganti putranya hilang. Kini, ketika sang putra yang hilang telah kembali, akankah ia menelantarkan putra-putra sulungnya seperti dalam perumpamaan Anak yang Hilang? Sementara itu, sang anak hilang yang telah kembali tak lebih hanyalah pencuri identitas, yang sendirinya tengah mengalami krisis identitas.

Alexia/Adrien, yang mana yang lebih tepat?

Susah untuk mencerna TITANE jika ini bukan kisah mengenai identitas. Terlalu banyak hal yang janggal di dalamnya untuk merasionalisasi plot yang ‘lebih sederhana.’ Namun, ketika tak menemukan suatu pijakan untuk mengikuti plotnya, film ini tak lebih dari sekedar sajian depravity, seperti menonton film era video nasty. Tapi, Ducournau telaten dalam menyuntikkan konflik identitas ke dalam body tambal sulam film ini yang membuat frustrasi. Akan susah untuk menjelaskan kehamilan mesin dengan logika, namun, jika melihatnya sebagai sebuah metafora untuk krisis identitas atau, mungkin lebih tepatnya, krisis gender, mungkin elemen janggal ini menjadi sedikit masuk akal.

Sebagian besar manusia terlalu terbiasa dengan konsep cisgender, sehingga apa yang ditampilkan Ducournau akan terlihat ganjil. Filmnya menghadirkan bentuk ekstrim dari konsep gender yang konvensional, kemudian pola tersebut dibuat lebih mencolok dengan transformasi tubuh yang jauh dari kata natural. Berkali-kali ditampilkan krisis identitas gender ini baik secara eksplisit maupun implisit; salah satunya jadi salah satu adegan yang penting antara Vincent dan Alexia/Adrien. Namun, penggambaran tergamblang justru muncul dalam barisan metaforanya.

TITANE tampak seperti campur aduk berbagai hal janggal yang dileburkan dan dijadikan body mobil yang mencolok. Plotnya selalu terasa ganjil dan, di banyak kesempatan, disturbing namun selalu bisa diikuti karena ia membawa misteri-misteri yang menunggu untuk diungkap. Di balik eksteriornya yang steely tersebut, ada sebuah kisah yang lembut — sebuah pertunjukkan kerapuhan diri manusia — lewat penerimaan diri dan orang lain. Ketika menilik betapa rumit dan menyakitkannya hitam putih identitas gender, film ini terasa indah ketika karakter-karakternya menerima apa yang mereka lihat dan alami dengan apa adanya; tanpa ada manipulasi, tanpa menutup-nutupi vulnerability mereka.

Review ini ditulis oleh Paskalis Damar yang sering menulis di sinekdoks.com dan @sinekdoks di Twitter.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s