Sempat mengalami mundur tanggal tayang beberapa kali, sekuel Venom akhirnya tayang juga di bioskop. Diberi judul Let There Be Carnage, cerita kali ini memang mengisahkan seputar kemunculan musuh utama Venom: makhluk symbiote merah, yang terbentuk ketika sebagian kecil sel Venom tanpa sengaja tertelan oleh seorang pembunuh berantai. Menghasilkan monster yang membantai orang tanpa pandang bulu. Sekuel ini sendiri nyatanya memang membantai film pertamanya, dalam artian film ini dengan gemilang mengungguli kekonyolan yang ada pada naskah film pertama. Let There Be Carnage padahal punya lebih banyak karakter untuk digali. Sehingga otomotis punya lebih banyak hubungan yang bisa menarik dieksplorasi. Namun durasi 97 menit tak bisa dimanfaatkan sutradara Andy Serkis untuk memuat semua itu. Film ini malah memilih cara yang aneh dalam menampilkan beberapa hubungan karakter tersebut, khususnya antara Venom dengan Eddie Brock. Jika pada film pertama mereka tampak seperti sketsa dalam buddy-comedy, kali ini mereka berayun lebih liar. Kadang tampak kayak orang pacaran yang lagi berantem, tapi sering juga terasa seperti dua anak kecil yang lagi ngambekan!

Meletakkannya ke dalam konteks, simbiosis memang mirip sama hubungan percintaan. Hubungan saling membutuhkan antara dua makhluk yang berbeda secara akurat memang menggambarkan koneksi antara Eddie Brock dengan entitas angkasa luar bernama Venom yang bersarang di dalam tubuhnya. Dalam film pertama tahun 2018 lalu, kita melihat Eddie dan Venom jadi saling membutuhkan karena mutual feelings; mereka sesama pecundang, jadi mereka bekerja sama, berusaha meraih posisi lebih baik dalam hidup. Pesona dari hubungan mereka datang dari bagaimana mereka acapkali bertentangan dan harus bereaksi terhadap kontra masing-masing, dan lantas berusaha kompromi demi tujuan yang sama. Begitu film itu mencapai akhir, Eddie dan Venom tampak sudah demikian kompak dan erat, karena itulah yang terjadi jika kita telah mengenal kelebihan dan kekurangan orang.
Ada satu lagi yang bisa (dan kerap) terjadi ketika dua orang yang telah saling kenal luar dalam hidup bersama sekian lama. Pertengkaran. Sedikit selisih paham. Tampaknya memang soal hubungan dan pertengkaran itulah yang dijadikan tema atau gagasan di balik aksi ‘monster-pemakan-kepala sebagai superhero’ ini. Karena Tom Hardy, yang kini juga jadi salah satu penulis naskahnya, menghadirkan si pembunuh berantai, Cletus Kasady (yang nanti jadi inang untuk Carnage) yang terpisah dari kekasihnya sejak lama, sebagai antagonis dari Eddie Brock.
Pelajaran dari Serial Killer
Plot cerita film ini bermula ketika Eddie terlibat kesepakatan khusus dengan Cletus yang sedang menunggu tanggal eksekusi di balik jeruji besi. Eddie bakal dapat interview ekslusif, asalkan mau mengirimkan pesan Cletus kepada seorang penggemar. Penggemar itu ternyata kekasih Cletus yang ditahan di tempat lain, karena punya kekuatan teriakan super yang dianggap berbahaya oleh semua orang. Eddie yang demi karirnya kini sibuk dengan laporan-laporan ekslusif, berulang kali menolak keinginan Venom untuk keluar mencari orang-orang jahat untuk dimangsa. Eddie dan Venom jadi sering ribut, puncaknya adalah ketika dalam satu sesi wawancara, Venom nyaris membuka rahasia dirinya dengan mengamuk sesaat di depan Cletus. Di tengah keributan itu, Cletus menggigit Eddie. Menelan sel Venom, dan jadi punya kekuatan symbiote sendiri yang membuatnya bisa kabur dari eksekusi. Dan membantai banyak polisi on the way dalam sekuen escape yang cukup seru. Sebaliknya, Venom dan Eddie justru berpisah jalan. Sehingga tidak ada lagi yang bisa menghentikan Cletus alias Carnage, kecuali dua jagoan kita mau berdamai dan menelan ego masing-masing.
Woody Harrelson sesungguhnya adalah cast yang tepat untuk memainkan Cletus. Bukan saja karena aksen selatannya yang natural. Harrelson telah terkenal memainkan karakter serial killer yang kontroversial dalam Natural Born Killers (1994), film yang original script-nya ditulis oleh Quentin Tarantino. Kalolah film itu genre slasher, pastilah Harrelson sudah masuk artikel Daftar Penampilan Serial Killer Terbaik yang kutulis. Sayangnya tidak banyak yang bisa dilakukan Harrelson kepada Cletus. Sebab naskah memang tidak banyak menggali. Perbandingan antara hubungan Eddie-Venom yang merenggang dengan Cletus-Shriek yang langgeng tidak pernah benar-benar dicuatkan. Film tidak pernah lanjut menggarap gagasan yang ia hadirkan. Backstory Cletus punya ayah yang abusive hanya disebutkan, dan tidak berhasil membuat karakter ini keluar dari satu-dimensi. Dia hanya ingin bunuh orang, begitupun dengan kekasihnya. Seharusnya bisa ada simpati ketika karakter mutant ditangkap oleh ilmuwan, tapi karakter si kekasih inipun tidak lebih punya pengembangan.
Dua karakter ini baru bisa kita apresiasi kehadirannya di akhir cerita. Saat pertarungan CGI antara Venom dengan Carnage yang begitu seru, berlatar estetik gereja tua. Di sinilah budget gede film ini menunjukkan rupanya. Pertarungannya memang kosong bobot, karena tidak punya daging cerita yang tebal, tapi melihat dua monster yang sama-sama kuat, yang bahkan wujud dan jurusnya hampir sama, mampu membius kita semua. Sungguh, film ini harusnya isinya Venom dan Carnage aja dari awal hingga akhir. Karena jelas sekali, pembuatnya lebih menaruh perhatian kepada aksi ketimbang cerita.
Berantem Seperti Anak Kecil
Durasi sepertinya terlalu sempit untuk menggali hubungan Venom dengan Carnage yang pada dasarnya adalah ‘anak’nya, Cletus dengan Eddie Brock yang ia pilih sebagai reporter kriminalnya, Cletus dengan pacarnya yang sejak kecil ditangkap ilmuwan, Eddie dengan pacarnya yang kini sudah tunangan dengan orang lain, dan tentu saja Eddie dengan Venom sendiri.
Bagian terbaik film pertama adalah dinamika dan dialog antara Eddie dengan Venom. Film kedua ini pun paham hal tersebut, sehingga kelucuan pada dinamika tersebut semakin ditonjolkan. Venom kadang meledek dan menyindir Eddie, kadang dia bisa sangat suportif. Memang, jadi kayak orang pacaran. Inilah yang gak disia-siakan oleh film. Dinamika Eddie dan Venom dengan kelucuan maksimal dirancang lebih seperti parodi dari bagaimana orang pacaran kalo lagi ribut. Saking berhasilnya, malah banyak juga yang memasukkan Eddie dan Venom ke dalam narasi pasangan queer atau LGBT, walaupun Venom yang suaranya berat kayak Yoda pake masker lima lapis itu secara teori bukanlah cowok. But hey, kita sudah pernah mendengar hal yang serupa. Luca (2021) animasi tentang persahabatan dua anak monster laut juga banyak disetujui penonton sebagai cerita yang punya vibe Call Me by Your Name. Ini hanya menunjukkan betapa penonton akan melihat cinta yang genuine, bahkan ketika film tidak meniatkannya demikian.
Alih-alih menggali hubungan Eddie dan Venom ini dengan cara yang dewasa, film malah memperlihatkan interaksi yang kekanakan. Like, Taylor Swift punya masalah ama mantan dan dia bikin itu jadi film pendek dan lagu superpanjang! Venom di film ini, pergi ke pesta dan ‘mengadu’ ke orang-orang, seperti mantanmu yang bikin thread Twitter atau ngontenin di Tiktok. Eddie dan Venom dalam film ini berargumen dengan nyindir-nyindir dan teriak-teriak. Ada momen ketika mereka basically saling meneriakkan tudingan “You suck!” Lalu Venom meng-headbutt wajah Eddie, dua kali. Mereka berdua – monster symbiote dari luar angkasa dan pria dewasa – bertingkah kayak bocil lagi berantem. Padahal orang dewasa kan gak begini. Orang dewasa enggak terpancing oleh sedikit provokasi, dan teriak-teriak saling ejek saat mendebatkan sesuatu.
Alasan kenapa film memilih untuk menggambarkan seperti itu tentu saja adalah uang. Venom 2 ini adalah film mahal maka mereka harus bisa tampil menarik bagi demografis yang paling menguntungkan. Remaja dan yang lebih muda. Dan ini berarti filmnya juga harus menyesuaikan dengan mindset demografis tersebut. Makanya juga, Venom dan Carnage yang sebenarnya jahat dan cukup sadis, di-rated PG-13. Film harus banyak aksi, banyak komedi, penuh oleh energi, berjalan dengan pace cepat, dan punya cerita yang gak banyak mikir ataupun bobot emosi. Dan memang jadi seperti itulah tepatnya Venom 2 ini. Dengar Tom Hardy di film ini suaranya dinyaring-nyaringin seolah dia sedang berakting menjadi karakter yang lebih muda dari kelihatannya. Akan gampang sekali bagi kita untuk menyukai film ini dari aksi dan kekonyolannya, dan meng-overlook bahwa sebenarnya ini bukan film yang bagus.
Simbiosis Komersialisme!
Sudah lama Sony Pictures jatuh bangun pengen membuat universe superhero yang laku. Franchise Venom adalah usaha teranyar yang mereka ambil setelah melihat reboot Spider-Man bareng Marvel nge-hits. Dan middle-credit scene Venom 2 ini ngasih kita suprise menghebohkan, yang sekaligus jadi bukti bahwa Sony kali ini sudah ada dalam jaringan hubungan yang mereka mau. Bahwa inilah simbiosis yang mereka incar. Yang bisa untung gede secara komersil.
Scene atau adegan yang dimaksud membuka banyak peluang bagi franchise ini ke depannya. Venom bukan lagi tak mungkin untuk muncul dalam film-film Marvel. Secara cerita pun bisa berdampak gede sebab adegan tersebut memang memancing banyak pertanyaan. Kehebohan mengenai ini tentu saja berarti cuan. Sejujurnya, adegan ekstra di luar film inilah yang aku yakin bakal lebih diingat orang, ketimbang Cletus, Carnage, dan film Venom 2 ini sendiri. Adegan ekstra inilah yang akan banyak diperbincangkan. Sony gak peduli bikin film yang berbobot, mereka cukup bikin film medioker. Asalkan sudah ngeceklis kebutuhan demografis anak muda, sudah di-backup dengan brand sinematik yang gede, mereka akan senang. Toh bakal box office juga!
Sementara aku, aku akan tetap menonton. Dan menulis review. Mengharapkan film superhero dibikin semakin bagus. Mengharapkan ada yang bikin Venom dengan benar-benar bercerita dan bukan aksi dan seru-seruan semata. Mencoba untuk tidak larut dalam hype multiverse. Biarlah yang terjadi, terjadi. Let there be…
Ditulis oleh Arya Pratama Putra dari mydirtsheet.com
aku mampir krn tau mas arya nulis di sini dan ga review venom di mydirtsheet hehe
cuma di sini gaya tulisannya ga sesarkas di mds sih haha
btw, brock sm venom ni chilidish amat ya kayanya wkwk agak terlalu konyol (even i must say i laugh hard di scene gereja waktu venom mau mundur)
and 13+ FOR VENOM? REALLY? It should be more consistent like Deadpool did.
LikeLike
Wahahaha, iya sih, Venom Carnage cocoknya memang di level Deadpool. Sony bikinnya terlalu jinak.
Jatoh lah pokoknya ‘wibawa’ mereka jadinya XD
LikeLike