Review Losmen Bu Broto, Kehangatan Keluarga Legendaris dari Masa lalu untuk Masa Kini

Sebagai sebuah film yang meminjam pesona dari kesuksesan pendahulunya nyaris empat dekade lalu, Losmen Bu Broto mungkin tidak terlalu meninggalkan kesan nostalgia yang kuat meski tetap menghadirkan nama-nama yang akrab di telinga penonton veterannya (Andai ada cameo dari beberapa pemain lamanya). Tapi sebagai sebuah film keluarga untuk para penonton baru, Losmen Bu Broto adalah sajian drama yang masih sukses memberikan kehangatan tersendiri dengan narasi feel good-nya yang aman dan nyaman, casting luar biasa serta pertunjukan audio-visual yang enak dipandang dan juga didengar.

Atas nama nostalgia mungkin menjadi alasan utama buat sebagian besar penontonnya yang kini sudah menginjak usia akhir 30-an ke atas untuk menonton varian terbaru dari Losmen Bu Broto. Ya, Bu Broto, bukan nama yang asing lagi buat mereka yang dulu sempat ‘singgah’ di Losmen kondang yang pernah sempat populer di masa lalu, lebih spesifiknya di tahun 80-an dari kotak kaca kecil cembung bernama televisi di era di mana TVRI masih menjadi raja tunggal penguasa absolut tontonan warga Indonesia.

Losmen yang diciptakan, ditulis, dan disutradarai oleh pasangan Tatiek Maliyati dan Wahyu Sihombing adalah salah satu seri televisi unggulan saat itu yang 35 episodenya sukses meninggalkan kesan mendalam buat para penontonnya dengan kehangatan dan kesederhanaannya bercerita bersama para penghuninya yang tidak kalah memesona yang dimainkan dengan ensemble cast luar biasa, sebut saja nama-nama legendaris seperti Mieke Widjaja, Mang Udel, Sutopo H.S., Mathias Muchus, Ida Leman, Eeng Saptahadi sampai Dewi Yull.

Dan mungkin atas nama nostalgia ini juga yang menggerakkan Paragon Pictures, Ideosource Entertainment, Ideoworks.id, dan Fourcolours Films membuat versi modern Losmen yang juga merupakan remake dari versi filmnya, Penginapan Bu Broto 1987 silam. Memasang nama Ifa Isfansyah dan Eddie Cahyono di bangku sutradara serta naskah olahan Alim Sudio.

Masih membawa serta semua karakter ikonisnya; Bu Broto, Pak Broto, dan ketiga anaknya; Pur, Sri, dan Tarjo, tentu dengan casting lebih segar. Kecuali Mathias Muchus sebagai satu-satunya aktor yang muncul kembali di semua versinya, Losmen Bu Broto punya daftar ensemble cast luar biasa; Maudy Koesnaedi, Maudy Ayunda, Baskara Mahendra, Putri Marino sampai Marthino Lio yang mengisi setiap slot penting karakternya, termasuk beberapa karakter baru untuk lebih memeriahkan film ini.

Untuk versi teranyarnya ini, penginapan keluarga Broto sudah tidak lagi memulainya dari bawah seperti versi sinetronnya dulu meski misi untuk menjadikan losmennya menjadi losmen nomor satu di Jogjakarta masih menjadi ambisi besar Bu Broto. Tapi Bu Broto dan Pak Broto harus dihadapi dengan masalah lain yang lebih personal dari sekedar tamu-tamu yang kurang puas dengan pelayanannya atau ulasan buruk tentang losmennya terpampang di sosial media, masalah yang datang dari kedua putrinya.

Anak pertama, Pur baru saja kehilangan kekasih tercinta, Anton (Darius Sinanthrya) yang juga membuat Pur kehilangan semangat hidupnya. Sementara Sri yang punya jiwa lebih bebas, lebih modern dan memilih menyanyi sebagai kariernya juga membuat Bu Broto pusing tujuh keliling karena paham hidup si bungsu dianggap tak sesuai tradisi dan prinsip yang dipegang teguhnya selama ini. Apalagi belakangan Sri juga ketahuan berhubungan dengan Jarot (Marthino Lio), seniman yang menurut keluarganya tak punya masa depan.

Dibuka dengan opening mengesankan di mana visual cantik tangkapan Muhammad Firdaus dengan warna-warna berani yang didominasi oleh desain produksi hebat Ong Hari, parade busana kebaya ayu dari Hagai Pakan sampai editing Cesa David Luckmansyah dan Greg Araya dalam iring-iringan musik latar trio Bembi Gusti, Tony Merle, dan Aghi Narottama sukses memberikan kesan pertama yang begitu berarti buat Losmen Bu Broto. Bahkan bonusnya, Ifa Isfansyah dan Eddie Cahyono juga memperlakukannya sebagai sebuah film kuliner kecil dengan penampakan beberapa masakan dan jajanan yang terlihat menggiurkan. Ya, kekuatan teknis kuat ini harus diakui menjadi salah satu nilai jual Losmen Bu Broto, membuatnya tampak elok dilihat dan didengar oleh penontonnya.

Satu hal lagi yang menonjol dari Losmen Bu Broto tentu saja tidak lain tidak bukan adalah deretan pemainnya. Ya, meski sedikit disayangkan beberapa peran pendukungnya seperti Baskara Mahendra sebagai Tarjo yang notabene adalah anak kedua keluarga Broto yang tidak dimaksimalkan, tapi sisa cast-nya overall bermain baik. Berada di bawah nama keluarga Broto yang sama, namun bagaimana setiap karakternya memiliki pesonanya sendiri itu yang membuat Losmen Bu Broto sama bersinarnya dengan apa yang dilakukan pendahulunya yang memang kuat di departemen ini.

Maudy Koesnaedi memerankan karakter sentral Deborah a.k.a Bu Broto, pemegang pucuk kekuasaan Losmen dan juga sebuah keluarga matriarki yang memegang teguh prinsip dan tradisi lama dengan tegas nan keras. Mungkin Maudy Koesnaedi belum bisa menandingi judesnya Mieke Widjaja sebagai sosok sempurna seorang Bu Broto, tapi apa yang dilakukannya di sini sudah lebih dari cukup untuk menunjukkan bagaimana sosok ibu old scholl Jawa yang relatable dan itu penting. Lalu Mathias Muchus berganti posisi menjadi Pak Broto setelah di dua penampilan terdahulu suami dari Mira Lesmana ini berperan sebagai Tarjo.

Peran Mathias Muchus adalah katalis utama dari Losmen Bu Broto yang memberi keseimbangan dengan kharisma dan kebijaksanaan yang luar biasa sebagai seorang ayah yang berusaha adil buat semua anaknya. Peran Sri yang dipegang juga dengan baik oleh Maudy Ayunda memang menjadi central of atention di sini. Konfliknya dengan sang ibu menguasai nyaris semua perhatian bersama kisah cinta yang tak direstui dengan Jarot sembari membawa pesan feminisme yang sayangnya tak terlalu konsisten. Sementara buat saya Putri Marino adalah juara di departemen akting Losmen Bu Broto. Karakter Pur nya Putri Marino punya range luar biasa, dari kegembiraan penuh cinta di awal film dan kesedihan luar biasa pasca kehilangan orang tercinta yang sukses ditunjukkannya dalam kualitas akting fantastis.

Kalau ada kekurangan terbesar dari Losmen Bu Broto selain logat Jawa dari para pemainnya yang kurang medok, mungkin ada pada naskahnya yang terasa kurang kuat. Mengusung tema dan pesan-pesan besar seperti keluarga, kehilangan orang tercinta, romansa, memaafkan diri sendiri, benturan antara tradisi dan modernisasi, sampai feminisme yang di dominasi karakter-karakter perempuan kuat. Namun dalam prosesnya semua tema-tema dengan potensi konflik besar itu terasa hanya menyentuh permukaannya saja tanpa pernah benar-benar dimaksimalkan dengan baik termasuk dengan penyelesaian konfliknya yang terkesan terburu-buru dan bermain aman. Bahkan andai saja tak digerakkan oleh penampilan para pemainnya yang luar biasa, Losmen Bu Broto ini bisa berakhir sebagai sebuah sajian dengan narasi kelas FTV yang untung saja tidak sampai kejadian.

Ditulis oleh Hary Susanto a.k.a Hafilova

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s