“Pak bos, selama ini aku ingin sekali bertanya, apakah kita berdua berasal dari planet yang sama?” Sebuah pertanyaan yang terlontar dari mulut seorang Chihiro. Mungkin kalau cuma dari sepenggal kalimat tadi kalian akan mengira ini adalah sebuah film fiksi ilmiah tentang penjelajahan luar angkasa atau tentang alien-alien. Ya, mungkin kalian tidak sepenuhnya salah karena “Call Me Chihiro” adalah cerita tentang manusia-manusia unik, manusia-manusia yang hidup menjadi alien bagi manusia lainnya.
Revolusi industri yang pertama kali terjadi di Inggris punya pengaruh yang begitu signifikan bagi perkembangan dunia saat ini di mana setiap manusia dilatih dan diajarkan untuk seragam dengan manusia yang lain. Dengan kata lain, sekolah adalah sebuah pabrik untuk menciptakan robot-robot yang tidak punya kehendak sendiri selain menggerakkan roda-roda kapitalisme. Padahal sejatinya, manusia itu begitu berbeda dan unik, ditempa dari latar belakang, pola asuh, sistem lingkungan, serta pola makan yang berbeda, sehingga mustahil untuk menciptakan manusia yang sejenis.

Film “Call Me Chihiro” berusaha mengglorifikasi keunikan manusia pada titik yang tertinggi namun sekaligus menghadirkan efek samping dari hal tersebut yaitu kesendirian dan kesepian. Sebuah film yang sederhana mengenai perjalanan seorang perempuan bernama alias Chihiro yang punya trauma berat namun karena traumanya ini dia punya sensitivitas yang luar biasa kepada orang lain di sekitarnya yang serupa namun jarang sekali terlihat oleh mata telanjang. Satu persatu orang di sekitarnya dia sentuh dengan kelembutan hatinya, sehingga menjadi sebuah keluarga kecil yang hangat namun karena trauma yang dia miliki, dia sendiri tidak bisa berada di dalam kehangatan itu dan memilih untuk sendiri dan pergi.
Walau tidak secara eksplisit disebutkan di dalam film, trauma yang dialami Chihiro jelas diakibatkan oleh ibunya sendiri, orang yang seharusnya menyayanginya paling dalam. Orang yang seharusnya menjadi yang terdekat dengannya. Trauma ini jelas menjadikannya alien bagi manusia lain. Menjadi terasing dari manusia-manusia sejenis. Rasa bersalah, jijik terhadap dirinya sendiri menjadi bahan bakar utama dari semua “withdrawal” yang dia lakukan. Tujuannya untuk apa? Agar rasa sakit itu tidak kembali terulang. Karena perjuangan melawan trauma bukanlah perjuangan sehari atau dua hari. Perjuangan melawan trauma adalah perjuangan hidup dan mati yang dijalani oleh seseorang setiap harinya apalagi jika trauma tersebut disebabkan oleh orang yang seharusnya menyayangi kita dengan teramat sangat.
Film ini juga ingin menggambarkan kepada kita tentang naik turun hubungan manusia yang tidak pernah selalu dalam tataran yang sama. Kadang ada kehangatan, kadang seperti es yang dingin menusuk. Dan bagi Chihiro yang tersakiti, rasa hangat membuatnya nyaman sekaligus menjadi sebuah alarm baginya untuk segera pergi karena sesudah kehangatan itu sirna akan ada dingin yang tidak mengenakkan, sama seperti bento yang dijual oleh Chihiro, yang sebaiknya dinikmati selagi hangat.

Jika film lain yang berkutat soal masalah Kesehatan mental sibuk menyalahkan dan melemahkan para penyintas dan korban yang memutuskan hendak bunuh diri. Film Chihiro tampil berbeda dengan menunjukkan kalau mereka yang melakukan hal itu bukanlah pribadi yang lemah, melainkan pribadi yang tangguh yang berjuang sekian lama dengan rasa sakit tanpa ada satupun orang yang bisa mengerti. Dan hal ini disimbolisasikan ke dalam dialog mengenai manusia dari planet yang sama. Tentang perjalanan Chihiro mencari orang yang bisa mengerti apa yang dia rasakan, tanpa pernah memberikan penghakiman.
“Call Me Chihiro” mungkin bukanlah film untuk semua orang. Alurnya yang lambat serta minimnya konflik bisa menjadikan film ini sebagai sebuah tayangan yang membosankan, tapi bagi yang mau bersabar film ini akan memberikan kehangatan sekaligus kegetiran di saat yang sama. Namun yang paling penting daripada itu, film ini memberikan rumah bagi semua orang, yang karena trauma dan diskoneksi yang mereka alami harus mencari diri mereka yang dulu dan tersesat, untuk pulang karena kita tidak sendiri, karena ada orang-orang di luar sana yang berasal dari planet yang sama dengan kita namun mungkin kita terlalu takut untuk membuka diri kita.
Review oleh: Yoseph Setiawan Cahyadi