Katarsis, Ekspektasi Sosial dan Rumah

Masih terngiang dalam benakku ketika dulu, sewaktu SD, aku melihat nilai ulangan matematikaku yang hanya 9 (artinya 90). Tanganku begitu gemetar. Keringat dingin bercucuran. Apalagi setelah kulihat nilai temanku yang ranking 2, yang mendapat nilai sempurna. Kendati bel sekolah berbunyi, aku tetap bergeming. Aku hanya duduk memaku di kursiku selama setengah jam. Tidak mau keluar kelas dan tidak mau pulang. Lalu ada salah seorang temanku yang baik, yang tidak buru-buru keluar kelas dan pulang. Dia mengamatiku selama beberapa waktu sebelum mencoba mendekatiku perlahan. Dia menepuk pundakku pelan seraya beberapa kali mendongakkan kepalanya untuk mencari tahu apakah mamaku sedang mencariku atau tidak.

Melihat gelagatnya itu, aku buru-buru menarik lengannya agar dia terus menunduk dan tidak melakukan hal itu lagi. Dia lalu mulai menanyakan kenapa aku menangis seperti itu padahal aku mendapatkan nilai yang sangat bagus terutama bagi dirinya yang selalu mendapat nilai sedikit lebih tinggi di atas rata-rata. Dia lalu mencoba memberikan semangat dengan mengatakan kalau aku pasti akan kembali mendapatkan nilai sempurna karena saya selalu ranking 1. Beberapa saat setelah dia mengucapkan kalimat, yang keluar dari mulut orang yang tidak mengetahui apa-apa yang sedang dan akan kualami, mamaku datang melongok ke dalam ruang kelas dan menemui aku menangis. Dia mendekati aku dengan tatapan penuh kasih. Dia tersenyum ramah pada temanku yang juga lalu membalasnya dengan senyumannya sambil memberikan petuah terakhir yang tidak ingin kudengar. “Tuh, mama kamu sayang kok sama kamu. Udah kamu pulang aja.” Aku mendongak seketika mencoba melihat wajah mamaku. Yang aku lihat tentu berbeda dengan apa yang temanku lihat. Sebuah senyum yang terkesan dipaksakan nampak terlihat di wajahnya dan matanya tidak tertuju kepadaku tetapi pada kertas ulangan matematika yang ada di depanku.

Temanku lalu meninggalkan aku. Yang dia percaya adalah kalau dia telah meninggalkan aku kepada seseorang yang sangat mencintai dan menerima aku apa adanya. Namun yang tidak dia ketahui adalah dia bagai membiarkan diri aku dimangsa oleh harimau lapar hidup-hidup. Penyiksaanku akan dimulai ketika aku duduk di atas becak. Pulun cubitan akan mendarat di paha dan betisku. Paha dan betis yang mananya tergantung posisi aku dan mamaku duduk di kursi becak. Kadang yang kanan dan kadang yang kiri. Penyiksaan berlanjut ketika aku sampai di rumah. Mulai dari penjambakkan, dipukul di bagian paha dan pantat. Lalu kalau dia belum puas, sapu ijuk akan melayang ke paha dan betisku beberapa kali. Entah ada berapa gagang sapu ijuk yang patah bukan karena mamaku rajin menyapu. Dia memang rajin menyapu tapi gagang sapu ijuk itu patah karena dipakai untuk memukul tulang – tulang di kaki dan tanganku. Kalau dia kehabisan sapu ijuk dia akan beralih ke sapu yang lain seperti sapu lidi. Bahkan sesekali sabetan sapu ijuknya meleset ke mukaku. Atau jika dia tidak menemukan keduanya ada selalu rotan yang bisa dia jadikan andalan. Tujuannya tidak hanya untuk membuatku kapok mendapat nilai yang tidak sempurna, tetapi lebih daripada itu, tujuan utamanya adalah untuk melampiaskan kekesalan yang dia rasakan terhadap hidupnya. Kekecewaan besar terhadap ekpektasi-ekspektasi sosial yang ditujukan kepadanya sewaktu dia kecil dari orang tua dan orang terdekatnya. Dan pada saat itu, aku merasa seperti Yesus yang disesah oleh orang-orang yang marah dan kecewa. Hanya dengan memikirkan hal itu, penderitaanku sedikit terobati. Walau cuman sangat sedikit.


Menonton series Katarsis seperti membangkitkan kembali ingatan-ingatan lama yang selalu coba aku pendam tersebut. Melihat Tara (Pevita Pearce) dan Ello (Revaldo), dua karakter utama di series ini, aku bisa melihat cerminan dari diriku sendiri yang gelisah, cemas dan tidak puas dengan kehidupan mereka. Mereka terus mencari tempat di dalam masyarakat kita yang mungkin hanya akan selalu memberikan ekspektasi berlebih kepada setiap individu. Melalui Tara dan Ello juga aku bisa melihat bagaimana destruktifnya ekspektasi sosial yang berlebih yang pada akhirnya berubah menjadi tekanan yang luar biasa dalam hidup mereka. Bagi Tara, yang jarang sekali mengalami interaksi sosial di luar rumahnya, berinteraksi dengan orang lain dan harus mengenal tata cara berperilaku bukanlah hal mudah. Ketika Tara keluar dari kotak dan diperkenalkan dengan situasi sosial di sekitarnya beserta norma-norma dan aturan yang melekat pada masyarakat, Tara terlihat begitu kesulitan. Dia begitu gagap dan tidak nyaman. Dia bahkan harus berpindah-pindah tempat tinggal dan tidak pernah merasakan apa itu rumah yang sejati.

Hal yang sama juga berlaku pada Ello. Seorang anak yang hidup dalam bayang-bayang kesuksesan ayahnya sebagai seorang pembunuh berantai yang tidak bisa ditangkap memberinya tekanan yang besar apalagi ayahnya selalu punya harapan agar Ello bisa sekuat dirinya. Agar Ello bisa punya nyali sebesar dirinya. Dan di dalam series ini, Ello jatuh bangun berusaha membuktikan dirinya sampai dia akhirnya berhasil. Lalu apa yang dia dapatkan? Apresiasi yang sifatnya hanya sementara. Dia menjadi pribadi yang terus menerus mencari apresiasi dan merasa berhak untuk bisa menekan orang lain sebagai kompensasi dari tekanan hebat yang dia rasakan. Kadang, tekanan itu tidak berwujud. Kadang ketika tidak ada angin dan hujan, tekanan itu bisa datang dari segala penjuru. Memenuhi kepala dan ironisnya ketika mendapatkan hal itu, yang orang lain sekitar kita lakukan adalah bukan memahami, melainkan menghakimi kita kalau kita gila, gak waras, dan mengada-ada.

Rumah juga menjadi poin penting dari series Katarsis. Adegan pertama terjadi di rumah. Semua pembunuhan terjadi di rumah. Banyak sekali adegan yang melibatkan rumah. Tara yang harus berpindah-pindah rumah dari rumahnya, ke rumah Dr. Alfons, ke rumah Mbak Ratna, ke apartemen Ello. Dan jangan juga melupakan pekerjaan Ello yang menjual rumah vertikal bagi orang-orang di ibukota yang kesepian serta maket-maket rumah yang selalu ada di gudang milik Ello. Hal ini tentu menusuk kita dengan pertanyaan; apakah kita sudah menjadikan rumah sebagai tempat untuk pulang bagi setiap penghuninya? Apakah rumah kita sudah menjadi tempat yang bisa menerima mereka apa adanya dan tidak memberikan ekspektasi atau tekanan apapun kepada setiap penghuninya?

Series Katarsis adalah series yang tidak hanya unik. Series ini boleh jadi adalah series terbaik yang dimiliki Indonesia untuk saat ini. Kemampuan Randolph Zaini dan Husein Atmojo dalam mengemas sebuah isu penting soal ekspektasi sosial dan rumah ke dalam sebuah cerita romansa yang di dalamnya melibatkan kisah cinta antara ‘psikopat’ dan ‘sociopat’ patut diacungi jempol sekaligus menggelitik rasa ingin tahu kita untuk mencari tahu apakah Tara dan Ello adalah benar seperti yang dideskripsikan di atas sebagai ‘psikopat’ atau ‘sociopat’ atau justru malah memberikan refleksi kepada kita jika mereka disebut sebagai orang jahat lalu bagaimana dengan sistem sosial kemasyarakatan kita beserta norma-normanya, yang digambarkan sebagai manusia tanpa wajah di animasi pembuka setiap episode series ini, yang membidani lahirnya mereka ke dunia?


Air mata tiba-tiba mengalir begitu saja ketika aku melihat anakku yang diam ketika dipanggil namanya atau ketika dia tidak mau memandang muka ketika kita sedang berbicara padanya. Anakku memang spesial dan dunia tidaklah siap untuk sesuatu yang spesial atau berbeda. Lebih tepatnya dunia terlalu takut dengan hal yang berbeda sehingga mereka tidak menyiapkan sistem untuk menunjang kehidupan mereka. Tekanan sering datang ke dalam benakku. Rasa khawatir dan cemas berlebih terkadang menumpuk di dalam dadaku. Seperti apa masa depannya kelak? Namun sebisa mungkin aku kuat, sebisa mungkin aku menahan tekanan yang ada di dalam kepala dan dadaku agar itu tidak menyembur keluar dan menekannya lebih dari yang kuinginkan. Singkat kata, aku tidak ingin memasukkannya ke dalam kotak ekspektasi, yang terbentuk dari kerdilnya wawasanku akan dunia. Sekarang yang kuinginkan dari dia adalah tumbuh dan bahagia. Aku ingin dia berkembang sesuai dengan potensi yang dia miliki. Memasukannya ke dalam tekanan yang kumiliki hanya akan membatasi potensi besar yang dia miliki. Toh semua orang berbeda, tidak pernah ada yang sama. Namun aku selalu memastikan kepadanya ketika aku berbicara di depan wajahnya, walau dia juga tidak memandang balik wajahku namun aku percaya dia mendengarkan, bahwa aku dan mamanya akan selalu menjadi tempat di mana dia bisa pulang dan diterima supaya ketika dia sudah jauh melangkah pergi, dia tidak tersesat. Karena aku dan mamanya akan selalu jadi rumah untuknya.

Review oleh: Yoseph Setiawan Cahyadi

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s