Bagaimana rasanya jika dirimu saat ini adalah bukan dirimu yang seutuhnya? Bagaimana rasanya setelah menghadapi begitu banyak kesulitan di dalam hidup untuk menjadi dirimu sendiri, kau justru malah kehilangan dirimu sendiri? Sebuah film yang baik selalu dimulai dengan pertanyaan yang tidak biasa. Sebuah pertanyaan yang mewakili keresahan manusia beserta ruang-ruang hampa di dalam hati yang terkadang susah untuk diutarakan namun lebih sering terlupakan. Film Joyland tidak hanya punya pertanyaan penting tentang kehidupan, yang menjadi sajian utama, tetapi juga sebuah hati dan kemasan yang puitis dan indah yang membuat semua mata tidak bisa berhenti memandangnya.

Kisah cinta dua insan dengan bumbu orang ketiga sudah sangat lazim kita temukan di film-film dari negara manapun. Namun yang membuat Joyland berbeda adalah karena kisah cinta ini terjadi di antara lelaki, yang selalu dianggap tidak jantan serta tidak mendapat tempat layak di keluarga dan masyarakatnya, dengan seorang transgender, yang selalu berusaha keras mencari panggung untuk menunjukkan dirinya di tengah konstruksi masyarakat Pakistan yang homogen. Sebuah langkah cerdas yang dilakukan oleh Saim Sadiq, sutradara sekaligus penulis skenario dari film ini untuk mengemas keresahan yang dalam dengan balutan cerita yang sangat universal dan dapat diterima serta memancing rasa ingin tahu penontonnya.
Film yang sempat dilarang tayang di negaranya sendiri ini adalah sebuah film penting yang sebenarnya tidak berfokus kepada isu transgender, tetapi lebih kepada manusia-manusia yang menyembunyikan diri mereka sendiri karena sistem sosial kemasayarakatan mereka yang patriarkis, yang memandang segala sesuatunya hitam dan putih, dan belum bisa menerima mereka sepenuhnya. Kehadiran Alina Khan sebagai Biba, seorang transgender adalah sebuah katalis yang fungsinya memprovokasi karakter utama di cerita, Haider untuk keluar menunjukkan jadi dirinya kepada dunia yang selama hampir 30 tahun mengkungkungnya. Haider, yang terpaksa menikah dengan Mumtaz hanya untuk memenuhi ekspektasi sosial, adalah seorang pribadi yang sangat menginginkan tempat di keluarganya. Statusnya sebagai seorang pengangguran, dengan istri yang sangat berbakat yang bekerja untuknya, tentu menjadi bahan olok-olok dari keluarganya. Oleh karena itu, dia harus segera mendapatkan pekerjaan agar dia bisa mendapatkan tempat di dalam keluarganya kembali, namun pekerjaan yang dia dapatkan adalah seorang penari latar untuk penari erotis yang transgender, hal yang justru berpotensi membuatnya semakin dikucilkan di dalam keluarganya.

Sebagai seorang lulusan dari Columbia University of Arts, kepiawaian Saim Sadiq dalam meramu plot yang bisa menimbulkan ketegangan ataupun komedi tidak perlu diragukan lagi. Dengan cermat Saim Sadiq mampu menahan diri untuk tidak buru-buru memberikan payoff mengenai isu kehamilan Mumtaz, yang biasanya akan segera filmmaker pemula gunakan untuk membuat karakter utamanya terperangkap dalam ketegangan yang sebenarnya masih belum klimaks. Namun di tangan Saim Sadiq, ketegangan terasa sangat klimaks karena isu kehamilan itu kemudian dibenturkan dengan isu-isu lain. Hal ini bisa terjadi karena Saim Sadiq tahu apa yang sebenarnya ingin dia ceritakan di dalam filmnya dan sesungguhnya ini adalah modal besar yang harus dimiliki oleh setiap filmmaker.
Terlepas dari beberapa kontroversi lain yang menyertai film ini, Joyland adalah film indah yang menggambarkan dengan sangat puitis jiwa-jiwa manusia yang terkungung oleh adat dan norma masyarakat yang terlalu mengikat, yang semakin kehilangan relevansinya di era yang semakin merdeka, di mana segala informasi dan pengetahuan dapat dengan mudah didapatkan. Hal yang justru membuat norma-norma yang berlaku di masyarakat hanya sebagai tameng perlindungan bagi masyarakat yang terlalu takut untuk membuka diri mereka sendiri karena hanya akan menujukkan kebobrokan yang selama ini mereka tutupi.
Film yang baik adalah sebuah film yang punya keresahan yang besar dan berani mempertanyakan sesuatu yang sudah ajeg berdiri di dalam konstruksi masyarakat kita. Tapi film yang luar biasa adalah sebuah film yang punya kemasan menarik serta penulisan yang terstruktur sehingga memungkinkan timbulnya dialog di antara pembuat film dan penontonnya di dalam ruang gelap yang bisa jadi berbentuk bioskop atau kamar gelap tempat kita menyaksikan keindahan gambar bergerak warna warni yang menampilkan manusia-manusia yang walaupun tidak pernah kita temui namun tetap punya resonansi kebutuhan dan keinginan yang sama dan universal. Dan Joyland adalah film tersebut! Sebuah film yang luar biasa yang akan membuka wawasan kita soal kemanusiaan dan diri kita sendiri!
Review oleh: Yoseph Setiawan Cahyadi