Halloween adalah tradisi. Sedangkan, franchise film Halloween, punya tradisi sendiri. Dalam rentang 43 tahun, telah terlahir sekurang-kurangnya dua-belas sekuel, dengan cabang kontinuitas yang berbeda-beda. Hampir seperti, setiap sekuel ‘membunuh’ film sebelumnya. Hanya ada tiga hal yang konstan dalam franchise ini. Protagonis Laurie Strode, Michael Myers si Pembunuh bertopeng William Shatner, dan Dokter Jiwa paling gagal seantero sejarah sinema, Dr. Samuel Loomis. Namun bahkan tiga konstan tadi itu juga kerap mengacaukan kesinambungan (alias suka hidup-mati seenaknya). Walaupun memang jadi sangat membingungkan bagi penonton untuk mengikuti mana yang kanon (alias mana versi yang dianggap sambungan cerita yang resmi atau sah), tapi pembuatan sekuel seperti ini toh berhasil membuat franchise Halloween terasa segar. Setiap reinkarnasi cerita tersebut jadi punya keunikan sendiri. Trilogi Halloween garapan David Gordon Green ini misalnya. Menempatkan diri sebagai sekuel langsung dari film original buatan John Carpenter tahun 1978. Reboot teranyar ini meniadakan nyaris seluruh sekuel Halloween, tapi menggunakan banyak remake adegan dari sekuel-sekuel tersebut. Konsep yang rentan. Mari berharap film kedua dari trilogi ini tidak lantas menancapkan pisau pada reboot ini, bahkan sebelum franchisenya berakhir.

Pada Halloween Kills, sudah mulai kelihatan ke arah mana David Gordon Green membawa cerita trilogi ini. Ia ingin memfokuskan kepada perseteruan antara Laurie Strode dengan Michael Myers. Dua karakter yang tidak lagi kanon sebagai karakter kakak-adik. Film pertama trilogi ini (Halloween 2018) memperlihatkan efek keberadaan Michael Myers bagi Laurie Strode, bagaimana Michael jadi momok dalam hidup Laurie. Film tersebut sekaligus dijadikan pengantar untuk membuat kita fresh kembali dengan pesona-pesona khas franchise terdahulu. Gordon membawanya berjalan pada garis antara cheesy dan drama yang lebih serius. Kita dibawa melihat lebih jauh ke dalam kehidupan Laurie. Supaya kita mengerti beban dan risiko yang ia hadapi. Dia juga harus dibuat kalah dulu. Supaya ketika nanti Laurie dan Michael berhadapan untuk terakhir kali, di episode terakhir trilogi ini, kita sudah benar-benar peduli dan ter-invest sepenuhnya ke dalam konflik mereka.
Namun sebelum film pamungkas trilogi itu tiba, ada film kedua. Halloween Kills ini. Dan ini adalah giliran Michel Myers, sebagai lawan dari Laurie, untuk diangkat. Green harus nge-push sosok manusia supernatural yang sudah menebar teror selama 40 tahun tersebut. Sehingga cerita ia bawa kepada tone yang lebih kelam. Serta juga ke arah yang lebih realistis. Laurie ia ‘jauhkan’ dari Michael. Laurie harus menyembuhkan dirinya di rumah sakit, setelah pertemuan keduanya di film bagian pertama. Maka Green harus mencari ‘jagoan’ baru untuk berhadapan dengan Michael. Green lantas mengangkat pengaruh keberadaan Michael Myers bagi seluruh penduduk Haddonfield sebagai gagasan utama dalam Halloween Kills. Orang-orang yang mengenal Michael di masa kecil, dan orang-orang yang pernah selamat dari tikaman pisaunya, dijadikan sebagai pengisi spot protagonis. Green berusaha membuat pengembangan yang natural dari warga kota dan para penyintas. Sehingga naturally, film kedua trilogi ini banyak menautkan diri kepada Halloween original tahun 1978.
Penyederhanaan untuk Franchise Halloween yang Rumit
Sebenarnya bukan hanya franchise Halloween saja. Franchise modern yang lain pun banyak yang melakukan reboot dengan membuat sekuel-sekuelnya menjadi non-kanon. Seperti Terminator yang membuat Terminator Genesys yang menghapus semua kejadian setelah Terminator 2. Atau film-film X-Men, yang timeline-nya baru masuk akal kalo kita nge-skip setengah dari sekuel-sekuel yang ada. Penghapusan kanon seperti demikian tentu saja dimaksudkan supaya franchise-nya menjadi lebih sederhana. Dan di antara franchise-franchise film, sepertinya memang Halloween yang paling ribet dan butuh untuk disederhanakan, lagi dan lagi.
Halloween original dan Halloween II sebenarnya cukup simpel (kalo kita mengabaikan fakta bahwa sebenarnya Halloween II itu adalah sekuel dari Halloween versi televisi). Lalu datanglah Halloween III: Season of the Witch, yang bahkan tidak lagi dibintangi Michael Myers. Kisah Michael, menurut film itu, ternyata hanya cerita pada tayangan televisi. Sekuel tersebut lantas balik dihapus saat Halloween IV tayang. Cerita dikembalikan kepada semesta Michael Myers. Di situ Laurie tewas, dan protagonis pindah ke anak Laurie, Jamie. Arc bareng anak Laurie bertahan hingga film kelima, sebelum akhirnya tergantikan oleh Paul Rudd (Ant-Man!) di film keenam. Di situ ceritanya semakin ngaco dengan memasukkan elemen sihir demi memasukakalkan kenapa Michael gak mati-mati. Setelah itu, franchise ini di-reboot kembali.
Halloween H20 muncul (dengan judul yang keren meskipun gak ada nyambungnya sama sekali sama cerita) sebagai sekuel resmi dari Halloween II. Jadi, Laurie yang telah mati, yang punya anak, dan Michael dengan kutukan/sihir; semuanya dicoret. Halloween H20 dan sekuelnya; Halloween Ressurection tampil sangat remaja. Tapi setelah Laurie dibikin mati, franchise ini pun mentok kembali. Tahun 2007, Rob Zombie menghidupkan kembali franchise ini, dengan me-reboot total dua film pertamanya. Aku pribadi, cukup suka sama dua Halloween versi Rob Zombie, karena benar-benar sederhana. Dua film, beres. Tapi sebagaimana yang sama-sama kita tahu, Jamie Lee Curtis masih belum selesai. Dan dia kembali sebagai Laurie, dengan projek Trilogi Halloween ini, yang sekali lagi menghapus seluruh sekuel, kecuali film original-nya.
Jadi, pilihan film ini untuk membunuh semua sekuel itu sebenarnya tepat. Halloween Kills berusaha strict mengikuti cerita original, menggali dari sana. Namun bagaimanapun juga, Halloween adalah franchise gede, yang meskipun cerita sekuelnya tidak ada, penonton tetap akan terus ingat hal-hal yang telah menghibur mereka sepanjang perjalanan franchise tersebut. Kebutuhan untuk menampilkan nostalgia itu tetap ada. Green pun tidak bisa untuk tidak memasukan banyak easter egg dari sekuel-sekuel yang seharusnya sudah tidak ada. Memasukkan banyak adegan-adegan yang jelas-jelas remake dari sekuel yang tidak lagi kanon.
Itulah yang jadi ‘red flag‘. Ketika reboot-reboot terdahulu dengan cueknya menghapus cerita, dan memulai dari nol, Green malah menyibukkan diri dengan easter egg dan nostalgia.
Absennya Sang Jagoan
Green punya kesempatan kecil untuk membuat cerita asli dari premis dan gagasan cerita soal penduduk yang balik memburu Michael Myers. Karakter-karakter penyintas, seperti Tommy Doyle, Lindsey Wallace, dan Lonnie Elam seharusnya benar-benar digali. Mereka tentunya punya trauma saat masih kecil bertemu Michael Myers. Begitu pula dengan anak dan cucu Laurie Strode. Karakter-karakter ini ditempatkan sebagai pengganti posisi Laurie yang lagi menyembuhkan diri. Akan tetapi, alih-alih fokus mengembangkan cerita dan motivasi mereka satu per satu, Green malah lebih fokus kepada ‘meniru’ elemen-elemen pada sekuel yang mestinya ia ‘bunuh’.
Film harusnya membahas dari sisi yang lebih manusiawi. Situasinya adalah tentang masyarakat yang jadi tak lagi berpikir jernih karena bertahun-tahun ditekan oleh rasa takut. Mereka adalah masyarakat yang marah. Mereka sudah sejengkal lagi untuk menjadi lebih monster daripada si Michael Myers itu sendiri. Ini konflik yang fresh dan bisa jadi galian yang menarik. Sayangnya yang ditonjolkan oleh film ini hanya pilihan-pilihan bego yang dibuat oleh orang-orang kota tersebut.
Tentu, karakter dalam film slasher tidak pernah dikenal sebagai karakter yang pinter. Mereka selalu berjalan ke arah suara misterius ketimbang balik badan mencari pertolongan. Di film ini, Green punya kesempatan untuk mendekonstruksi hal tersebut. Apalagi karena tone yang ia incar sejak awal adalah tone yang realistis dan kelam. Tapi dia gak konsisten ke sana. Dalam Halloween Kills, adegan bego seperti itu justru ditampilkan berkali-kali. Kebegoan demi kebegoan dari para manusia yang memburu Michael terus dihadirkan, supaya film bisa terus menerus menampilkan adegan yang mereferensikan film Halloween jadul tertentu. Massa yang tau-tau ribut antar mereka sendiri, dan mengejar orang yang jelas-jelas bukan Michael Myers. Para karakter penyintas dan keluarga Laurie itu seperti tidak ada motivasi selain jadi penambah jumlah korban. Malah ada loh, pengeroyok yang membawa senjata berupa setrikaan. Dia mau nyetrikain baju Michael apa gimana?
Absennya peran Laurie menjadi lubang yang menganga. Dinamika jagoan dan monster pembunuh khas pada film slasher tidak dimiliki oleh film ini. Sehingga semuanya jadi enggak bekerja dengan benar. Kita jadinya menonton ini hanya untuk melihat Michael membunuh orang-orang. Sebaliknya, memandang Michael sebagai tokoh utama pun tetap tidak maksimal, karena dengan kebegoan para warga, tidak sekalipun kita merasa Michael terancam bahaya. Setiap pembunuhannya tidak terasa berbobot, kita hanya nge-cheers karena dilalukan lewat permainan kamera yang menarik.
Dressed to Kill
Padahal secara teknis, film ini enggak main-main. Beragam adegan mati yang seru dan menarik dihadirkan. Penggemar adegan berdarah-darah, niscaya akan terpuaskan dahaganya. Film ini berhasil menyeimbangkan jumpscare dan adegan pembunuhan. Punya timing yang perfect dalam merekam. Adegan Michael Myers beraksi dengan latar belakang rumah terbakar itu sungguh absolute FIRE!
Halloween Kills punya visual yang benar-benar mulus. Mereka membuat ulang situasi yang kita temukan pada Halloween 1978. Saat menonton, aku pangling. Aku gak yakin apakah mereka menyulam adegan film jadul bareng adegan yang direkam di tahun 2021, atau apakah mereka ngesyut ulang semuanya. Terlebih ketika karakter Dr. Loomis muncul di pintu. Begitu aku yakin adegan tersebut bukan klip dari film lama, pertanyaan dalam kepalaku justru makin bertambah. Kok CGI Dr. Loomis mulus banget? Apa mereka menghidupkan kembali aktor Donald Pleasence?! Ternyata, adegan tersebut bukan CGI. Mereka menggunakan efek praktikal. Kostum, make up, dan segala macem. Film ini membuat pemain ekstra jadi benar-benar mirip sama pemeran Dr. Loomis di Halloween 1978!
Ngomong-ngomong soal kostum, film ini juga berhasil membuat sosok Michael Myers jadi lebih menyeramkan lagi. Topeng setengah terbakar itu merupakan sentuhan yang bagus. Pada beberapa adegan, topeng tersebut juga tampak seolah menampilkan ekspresi. Dan efek tersebut tentu saja menambah cukup banyak lapisan misteri kepada karakter Michael Myers yang tidak berbicara tersebut.
Tujuan film untuk membuat Michael Myers semakin menarik, memang tercapai. Motivasinya disibak sedikit. Alasan kenapa dia memakai topeng, dan alasan kekuatan supernaturalnya dibeberkan sedikit – dengan cara yang tidak konyol. Hanya saja, Michael tidak diberikan lawan sepadan di sini. Film kurang menggali, melainkan sibuk dengan membuat referensi. Tone kelam dan realistisnya tidak digarap konsisten. Sehingga sebagian besar film malah terasa konyol, dengan begitu banyak kebegoan. Halloween Kills jatuh ke dalam kategori film kedua trilogi yang hanya berfungsi sebagai jembatan. Dia tidak menambah banyak bagi arc cerita. Halloween Kills adalah downtime di antara dua film, yang enggak benar-benar wajib untuk ditonton. Dia hanya ditonton karena bagian dari trilogi. Malah mungkin saja, setelah nanti film terakhirnya keluar, orang-orang akan langsung nge-skip film ini. Kecuali kalo memang lagi kepengen melihat orang-orang bego mati mengenaskan.
Ditulis oleh Arya Pratama Putra dari mydirtsheet.com