Setengah Mokumenter setengah Found Footage, The Medium garapan sutradara Thailand Banjong Pisanthanakun terbukti jadi horor yang efektif. Karena gabungan gaya tersebut mampu memberikan sensasi nyata dan terasa ‘dekat’ (terutama oleh kita, penonton Indonesia yang punya budaya ‘dukun’ seperti pada cerita), sekaligus memuat misteri dengan berbagai trik horor. Teror kesurupan roh jahat itu diceritakan mulai dari gaya horor ala Paranormal Activity hingga horor yang lebih chaos kayak dalam film zombi. Atas nama genrenya, tentu saja ini merupakan langkah yang pintar. Akan tetapi, penonton yang mengharapkan cerita yang padu, cerita yang mendalam sekelas The Wailing (film Korea dari sutradara yang turut menjadi produser The Medium), akan sedikit kecewa. Lantaran narasi The Medium berkembang semakin ke mana-mana. Sampai ke titik filmnya sendiri tidak lagi peduli, dan memutuskan untuk menukar penjelasan dan penyelesaian dengan akhir yang hiruk pikuk. Namun itu tidak menyurutkan langkah film ini mencoba peruntungan menuju Oscar tahun depan. Karena film ini tahu dirinya punya kekuatan di nilai lokal yang cukup unik dan berkarakter.

Hingga detik ulasan ini ditulis, The Medium sudah meraih top box office di bioskop beberapa negara, seperti di Korea Selatan, dan tentu saja di Indonesia. Mecahin rekor box office film Thailand tertinggi. Menakjubkan, mengingat bioskop kita baru berangsur buka sejak hantaman Corona. Jadi, kenapa film ini bisa sesukses itu? Apakah karena bantuan dewa-dewa?
Daya tarik. Aku jarang sekali menemukan film horor dengan daya tarik sebanyak yang dipunya oleh The Medium. Pertama, tentu saja fakta bahwa film ini adalah kolaborasi dari sineas Thailand dan Korea; dari pembuat Shutter dan The Wailing – dua film horor yang masih terus ke-mention setiap kali ada yang memperbincangkan film Asia terseram. Kedua, setting. Cerita tentang dukun, roh jahat lawan dewa pelindung. Setting kepercayaan tradisional yang juga masih melekat dan dapat ditemui di daerah kita. Film ini pun semakin mendaratkan cerita ini ke bumi dengan narasi yang bertema keluarga.
Film ini bercerita tentang seorang dukun perempuan bernama Nim (diperankan oleh Sawanee Utoomma) yang tinggal sendirian. Kisah hidup Nim yang mendapat kekuatan dewa secara turun temurun tersebut sedang difilmkan oleh sekelompok kru, ketika Nim mendapat kabar duka dari keluarga kakaknya. Dari situlah cerita bergulir. Keluarga Kakak Nim telah lama dirundung celaka. Dan tragedi mereka masih jauh dari kata usai. Nim mengetahui ada roh super jahat merasuk ke dalam tubuh keponakannya, Mink (diperankan oleh Narilya Gulmongkolpech). Membuat gadis itu beringas dan berbahaya baik bagi orang lain maupun bagi dirinya sendiri. Tantangan Nim bukan hanya roh misterius yang kuat yang harus ia usir tersebut. Melainkan juga datang dari Ibu Mink, Noi (diperankan oleh Sarani Yankittikan). Kakaknya yang skeptis ama mistis, dan meninggalkan kepercayaan terhadap dewa sedari mereka semua masih muda.
Gaya dalam menceritakan narasi tersebut (atau katakanlah, medium berceritanya) menjadi daya tarik keempat yang dimiliki oleh The Medium.
Found Footage atau Mokumenter?
Found Footage adalah film yang mengemas ceritanya ke dalam bentuk rekaman kamera atau klip video (contohnya Paranormal Activity, The Blair Witch Project, V/H/S/). Mokumenter atau mockumentary adalah film fiksi yang dikemas dalam bentuk dokumenter (contohnya What We Do in the Shadows, Curse of the Blair Witch, Lake Mungo). Kedua gaya ini pada dasarnya berbeda. Found Footage biasanya pake gimmick-gimmick kamera, seperti shaky cam, hidden cam, filter video jadul, kita seperti menonton video atau file rekaman suatu peristiwa. Mokumenter lebih seperti kita menonton liputan, dengan adegan wawancara karakter oleh kamera. Dibedakan dengan dokumenter, karena kejadiannya bukan nyata. Keduanya berbeda, tapi sering berjalan seiring. Found Footage sering overlap dengan gaya Mokumenter dalam usahanya membuat kamera itu logis terus ada di sana, merekam semua kejadian.
Dalam The Medium, kedua gaya ini muncul bergantian. Di awal, film ini kental gaya Mokumenternya. Film seperti serius menelisik kehidupan seorang dukun, meneliti kerjaan dukun di dunia modern. Film terasa grounded di bagian awal ini. Kita terinvest dan jadi peduli sama Nim karena film seperti berfokus kepada menceritakan suka dukanya sebagai seseorang yang mewarisi kekuatan atau ilmu dari dewa, hanya karena sang pewaris asli menolak ilmu tersebut. Namun seiring berjalannya durasi, film berpindah fokus. Lebih menceritakan tentang kejadian seputar teror yang menimpa keluarga kakak Nim. Di sinilah film menjelma sepenuhnya menjadi Found Footage. Kita tidak lagi ngikutin Nim curhat, melakukan ritual, mecahin misteri, dan sebagainya. Kita menonton hasil rekaman CCTV, kamera taksi, kamera tersembunyi kru, dan kamera live mereka menyusur kejadian tanpa Nim.
Perpindahannya sebenarnya cukup mulus. Tapi karena perpindahannya juga berarti fokus cerita berubah dari yang sudah di-setup di awal, maka dalam kondisi terburuk, film ini bisa terlihat sebagai tidak konsisten. Tapi tentu saja masih ada keuntungannya menjadi horor supranatural yang melebar ke mana-mana, yang berusaha menjadi banyak horor sekaligus.
‘Kesurupan’ Berbagai Elemen Horor
Yang gak ada obat di sini memang bukan kesurupan si Mink saja. Kengerian film ini juga gak ada penawarnya. Sebab The Medium merasuki banyak sekali elemen-elemen horor. Berbagai sub-genre horor muncul di sini.
Penonton bisa bergidik melihat adegan-adegan kesurupan yang menjurus ke disturbing. Bisa menjerit-jerit kena jumpscare saat film mulai menjadi sesuatu yang seperti Paranormal Activity dengan kamera yang merekam ruangan rumah pada malam hari. Atau bisa menyumpah serapah saat film mulai main bunuh-bunuhan dengan sadis sebagai finale cerita. Keseraman seperti gak berkesudahan. Apalagi memang film bergerak dengan kecepatan yang cukup tinggi. Kita berpindah dengan cepat dari satu kengerian ke kengerian lain. Dan melingkupi semua itu, penonton yang tertarik misteri bisa bermain tebak-tebakan mengenai mitologi dalam dunia-cerita ini, apa yang sebenarnya terjadi dan sebagainya.
Itulah yang menjadi appeal atau daya tarik The Medium berikutnya. The Medium mengklaim posisi sebagai Horor Found Footage dengan ending semuanya mati (salah satu ciri Found Footage memang tidak ada karakter yang selamat) Dan dengan begitu, maka ada begitu banyak yang bisa dibicarakan setelah dua jam-lebih durasi film ini selesai. Kita bisa berteori kenapa begitu banyak yang kesurupan makhluk buas seperti anjing, misalnya. Atau berteori soal sumber asli dari kekuatan atau ilmu Nim. Kalo kalian punya teori tentang narasi film ini, boleh kok di-share di kolom komentar.
Jadi, ketiadaan penyelesaian itu mungkin memang sudah diniatkan oleh sutradara. Bahwa film boleh jadi memang mengincar kehebohan perbincangan seperti ini (dan untuk itu, mereka berhasil). The Medium sukses menjadi horor yang seru. Namun, tetep tak bisa dipungkiri, film ini telah membuang potensi untuk menjadi horor yang lebih berbobot demi semua itu. Film tidak memilih untuk menjadi cerita yang lebih dalam. Dengan mengubah haluan dari apa yang mereka bangun di awal, yakni cerita mendalam tentang seorang yang sebenarnya hanya ‘dukun pengganti’ dalam keluarga mereka.
Kans di Academy Awards
Thailand telah mengumumkan wakil mereka yang akan dikirim untuk bersaing pada nominasi Film Asing Terbaik di Academy Awards tahun depan. Sebuah langkah yang menarik. Karena meskipun enggak benar-benar unik (karena mengambil elemen dari berbagai subgenre horor), tapi The Medium memang sebuah paket horor komplit. Tapinya lagi, Academy Awards bukanlah festival horor. Jadi apakah Thailand telah salah langkah dalam mengirim The Medium, seperti halnya Indonesia salah mengirim Perempuan Tanah Jahanam yang horor banget ke Oscar awal tahun ini?
Jawabannya bergantung kepada daya tarik terakhir yang dimiliki oleh The Medium. Sesuatu yang tidak dipunya oleh Perempuan Tanah Jahanam yang malang. Yakni, budaya atau konten lokal yang kuat.
The Medium tidak berangkat dari rekaan atau daya imajinasi pembuatnya semata. The Medium memiliki akar pada kebudayaan lokal. Mengangkat tema atau bahasan yang benar-benar ada di daerah tempat cerita fiksinya berlangsung. Daerah Isan, timur laut Thailand bukanlah lokasi antah-berantah. Melainkan memang lokasi di Thailand yang dikenal dengan kepercayaan yang dianut. Kepercayaan itulah yang jadi karakter, yang bakal jadi modal utama film ini bisa dilirik oleh juri di Oscar nanti. Kepercayaan terhadap dewa-dewa, spirit dan roh jahat sebagai lawannya. Film ini menggambarkan perjuangan kepercayaan tersebut di era modern. Ketika penduduk mulai jauh dari keyakinan leluhur mereka, ketika mereka mulai tak percaya. Ketika profesi dukun mulai dipandang sebelah mata di tanahnya sendiri.
Permasalahan tersebut tentu saja akan menarik di mata penonton barat. Setidaknya mereka akan membandingkan upacara dan ritual-ritual rumit Nim itu dengan prosedur kesurupan di gereja. Maka dari itulah, maka sekali lagi, sayang sekali The Medium tidak benar-benar menitikberatkan narasinya kepada elemen lokal dan drama personal si dukun itu sendiri. Memilih untuk menjadikan film ini hanya sebagai horor kejadian; horor seru-seruan, membuat nilai dan konten tersebut terdorong ke belakang. Hanya jadi latar, alih-alih jadi karakter yang kuat. Kans film ini di Oscar, menurutku tidak gede. Juga tidak kecil-kecil amat. Medium saja, itulah jawaban yang paling pas.
Ditulis oleh Arya Pratama Putra dari mydirtsheet.com