Diniatkan sebagai film pendamping yang melengkapi cerita dalam The Story of Kale, Story of Dinda sejatinya punya potensi untuk menjadi satu suguhan yang menarik. Terlebih, duo pemain utamanya, Aurelie Moeremans dan Abimana Aryasatya, sudah bermain baik. Akan tetapi ketimbang membawa penonton untuk mengenal lebih jauh karakter Dinda dengan mendedah masa lalu serta kehidupan pribadinya, film lebih tertarik untuk menghadirkan perbincangan panjang-panjang seputar kebahagiaan yang sejatinya tidak bergerak kemana-mana karena si tokoh utama sudah menyadarinya sejak paruh awal film.

Saat Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (2020) yang terinspirasi dari buku bertajuk sama rekaan Marchella FP merengkuh sukses di layar lebar, Visinema Pictures segera tahu apa yang harus dilakukannya: mengembangkan judul ini sebagai suatu franchise. Berhubung pandemi lantas menyergap dan bioskop dipaksa untuk menutup pintu, maka bukan sekuel dengan skala penceritaan lebih luas dan dalam yang dicetuskan. Melainkan sebuah spin-off yang mengekspansi backstory dari salah satu karakter pendukung dari film tersebut, lalu kisahnya diabadikan dalam tontonan yang bisa dikonsumsi oleh penonton dari rumah masing-masing melalui platform OTT yang masih berafiliasi dengan Visinema, Bioskop Online.
Karakter tersebut adalah Kale (Ardhito Pramono) si tukang bercinta yang fobia terhadap komitmen dan film yang menelusuri kehidupannya adalah The Story of Kale: When Someone’s in Love (2020). Tak berhenti sampai di sini saja, film pecahan ini juga kemudian dibuatkan pecahannya sendiri – atau bisa juga disebut sebagai sajian pelengkap – dimana kita memperoleh cerita dari perspektif karakter perempuan yang dikencani oleh Kale di film tunggalnya, Dinda (Aurelie Moeremans).
Membawa judul lengkap Story of Dinda: Second Chance of Happiness, film garapan Ginanti Rona (Midnight Show, Lukisan Ratu Kidul) ini berusaha memberi penonton gambaran seperti apa posisi Dinda kala masih menjalin hubungan dengan Kale. Di film sebelumnya, Dinda diperlihatkan terjebak dalam satu toxic relationship bersama Argo (Arya Saloka) yang abusive sampai akhirnya ‘diselamatkan’ oleh Kale. Tak tahunya, ternyata pasangan barunya tersebut juga sama mengerikan dan kasarnya yang lantas mendorong Dinda untuk mengakhiri hubungan mereka di penghujung kisah.
Dalam film ini, karakternya dipertemukan dengan seorang pria beristri nan bijak bernama Pram (Abimana Aryasatya) yang menyadarkannya tentang pentingnya memperoleh kebahagiaan dalam suatu hubungan. Pram yang sedang memiliki masalah dengan sang istri menemukan rasa nyaman saat meluapkan segala keluh kesahnya ke Dinda, begitu pula sebaliknya. Dinda yang tertekan karena saban hari menghadapi kekasihnya yang temperamen menemukan ketenangan dalam pribadi Pram yang meneduhkan. Keduanya saling menemukan dan saling menguatkan, jadi mengapa mereka tidak bersatu saja?
Upaya untuk menghadirkan dua spin-off dengan perspektif penceritaan yang berbeda sejatinya menarik. Di satu sisi kita peroleh gambaran mengenai apa (atau siapa) yang membentuk Kale sebagai tukang ghosting, lalu di sisi lain kita juga mendapatkan cerita dari satu figur yang dianggap bertanggungjawab atas timbulnya perangai problematik tersebut. Dalam benak saya, Story of Dinda akan mengurai alasan di balik tekad kuat Dinda untuk mempertahankan relasi asmaranya dengan sang kekasih yang terbukti toxic. Maksud saya, dia sudah pernah menghadapi Argo. Lantas mengapa Kale masih sedemikian diperjuangkannya?
Film ini memang sempat menyinggungnya sekelumit dalam serentetan percakapan yang terjadi antara Dinda dengan Pram. Seperti halnya penonton, Pram pun mempertanyakan keputusan nekat perempuan yang ditaksirnya tersebut. Terlebih si karakter tituler sejatinya sudah menyadari bahwa dia butuh merengkuh kebahagiaannya sendiri sedari paruh awal. Akan tetapi, naskah yang ditulis oleh M. Irfan Ramli (Love for Sale, Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini) enggan menyodorkan alasan yang lebih spesifik dari “dia sebenarnya orang baik, aku masih mencintainya” sehingga karakter Dinda itu sendiri terasa sangat satu dimensi dan tak memiliki kompleksitas.
Padahal melihat upayanya yang sedemikian keras dalam memperjuangkan hubungan yang sudah kentara beracun (dua kali pula!), saya meyakini dia menyimpan cerita menarik dari masa lampau – jauh sebelum bertemu dengan Argo – yang mendorongnya untuk menjadi pribadi yang kodependen sekaligus nrimo. Memaklumi setiap tindakan negatif yang diambil oleh pasangannya. Namun ketimbang mendedah karakter Dinda melalui segala bentuk trauma, luka, maupun duka yang menghinggapinya selama bertahun-tahun, film lebih tertarik untuk membicarakan “apa yang sebenarnya mendorong Dinda untuk memutus Kale?” dengan menyoroti perbincangan panjang-panjang seputar makna kebahagiaan antara Dinda dengan Pram yang bukan hanya kurang greget dan hambar, tapi sebetulnya juga tidak bergerak kemana-mana.
Bahkan saya pribadi kebingungan dengan posisi Pram di sini karena dia tidak hadir untuk menyadarkan protagonis kita mengenai pencarian kebahagiaan (karena Dinda sudah sadar terlebih dahulu), melainkan sebagai alasan agar Dinda bisa membebaskan diri dari hubungannya dengan Kale. Keberadaannya tak terlalu signifikan, malah membuat saya mengendus adanya normalisasi perselingkuhan. Setelah film berakhir pun diri ini tak benar-benar yakin Dinda sudah meraih kebahagiaannya, melainkan sebatas mendapat pelarian sesaat. Dan sebagai film yang semestinya mengenalkan kita lebih jauh ke sosok Dinda termasuk melongok kehidupan pribadinya, film ini pun kalah mendalam dibanding The Story of Kale. Tak ada yang informasi baru yang membuat kita bisa memahami motivasi serta tindak tanduknya. Aurelie Moeremans dan Abimana Aryasatya sudah bermain baik, tapi karakterisasi yang sempit dan latar belakang hubungan yang terasa janggal membuat keduanya kesulitan untuk tampil mengesankan. Sayang sekali.
Ditulis oleh Taufiqur Rizal, pemilik akun Twitter @TarizSolis