Kajiman, Bukan Horor Instan

Nyupang

Sebagai seseorang yang terlahir di kota Cirebon, pesugihan, yang saat ini menjadi komoditi paling eksotis di dunia perhororan Indonesia, bukanlah hal yang baru. Di Cirebon, praktik pesugihan sering disebut dengan istilah lokal, yang diambil dari bahasa Jawa pesisir, “nyupang” alias “nyudho pangan”. Nyudho pangan sendiri bisa diartikan sebagai sebuah ritual mengurangi makan untuk mendapatkan kekayaan sebagai bagian dari perjanjian dengan makhluk gaib. Mengurangi makan ini sendiri artinya tidak makan-makanan enak yang bergaram untuk seumur hidup agar kekayaan bisa terus mengalir. Terkadang di beberapa situasi lain, konsekuensi dari perjanjian ini bisa berbeda-beda. Bahkan, ada dari kompensasi tersebut yang harus menumbalkan nyawa seseorang yang kita cintai. 

Praktik “nyupang” ini sendiri ramai dilakukan di era 70-90-an di mana hal ini sudah bukan rahasia lagi di kalangan warga kota Cirebon. Tidak jarang desas-desus menyebar sewaktu saya kecil yang mengatakan seseorang bisa dengan sekejap menjadi kaya raya. Tentu saja hal ini membuat saya membelalakkan mata sendiri. Namun saya juga berpikir bahwa dengan konsekuensi seperti itu, bagaimana kita bisa menikmati kekayaan yang kita terima? Singkat kata konteks kita menjadi kaya itu untuk apa?

Horor yang Beda

Sebagai sebuah film dengan genre horor yang mengambil latar belakang cerita, yang jamak kita temui pada film-film horor kita sejak Pengabdi Setan menjadi sebuah sensasi, Kajiman mungkin bukanlah film yang berbeda. Dari luar kita bisa tertipu kalau Kajiman hanya akan jatuh pada perangkap yang sama di dalam film horor kita. Jumpscare yang berlebihan hanya untuk menghasilkan rasa takut secara instan. Namun ketika kita masuk ke dalam gedung bioskop dan adegan dalam film itu dimulai dengan adegan percakapan antara ibu dan anak perempuannya di atas ranjang yang mesra dan intim, harapan seakan muncul.

Sebagai manusia yang hidup di era di mana segala sesuatu bisa didapatkan dengan segera tanpa perlu menunggu, di mana segala informasi, yang memanjakan mata dan memancing nafsu, terhampar dengan begitu luasnya, saya merasa tidak berdaya pada keinginan saya sendiri. Begitu tidak punya kontrol atas hidup saya sendiri dan hanya hidup untuk memenuhi keinginan yang muncul seketika, yang semua berasal dari akar yang sama, trauma.

Saya jadi teringat pada kakek saya. Ketika kakek saya menginginkan sesuatu, dia akan dengan sabar menabung. Memberi waktu pada logikanya untuk mengambil alih keiinginannya. Tidak jarang ketika uang itu sudah terkumpul, uang itu enggan dia habiskan pada apa yang menjadi motivasinya saat itu. Ayah saya selalu bilang kalau saat itu kakek sudah tidak kepingin lagi barang itu. “Sudah kehilangan konteksnya”, katanya. Alih-alih menggunakan uang itu untuk keinginannya, dia menggunakan uang tersebut untuk hal yang lebih mendesak seperti uang sekolah anak-anaknya.

Jaman yang begitu cepat bergulir dengan tuntutan yang semakin besar setiap harinya membuat manusia rela menukarkan waktunya demi sesuap nasi. Saya dan istri bekerja untuk kebutuhan hidup anak saya dan kita semua. Lebih sering saya hanya bisa gigit jari karena saya tidak bisa mendampingi anak saya. Terkadang anak saya bisa mendorong saya untuk keluar kamar dan lebih memilih susternya untuk berada di dalam kamar menemaninya. Tentu ini adalah sebuah isyarat keras bagi saya akan kebutuhan terpenting anak saya akan kebersamaan dan seseorang yang bisa menerima dan menemani dia. Dan hal itu tidak dia temukan dari ayahnya.


Dan ketika menonton Kajiman di bioskop, saya bisa melihat fragmen-fragmen dari diri saya sendiri tersebar ke dalam beberapa karakter di film tersebut. Ada Asha (Aghiny Haque) yang baru saja kehilangan ibunya dan masih menyimpan rasa rindu dan rasa bersalah yang membuncah. Ada juga Rum (Mian Tiara) yang hidup dalam kemiskinan dan ketidakberdayaan, yang selalu menjadi momok bagi setiap manusia. Ada juga Ismail (Tyo Pakusadewo) yang punya latar belakang sama dengan Rum yang berubah menjadi kaya secara instan karena pesugihan. Ketiga karakter ini memiliki motivasi yang kuat sekaligus memilih jalan yang instan untuk bisa menghadapi keadaan mereka.

Pada poin pengembangan karakter di atas serta peracikan plot dan kesabaran dalam tidak memberikan jumpscare secara berlebihan dan tanpa konteks, film Kajiman menjadi suguhan yang berbeda. Film ini mengajak penontonnya untuk samar-samar memahami motivasi setiap karakternya sekaligus menggambarkan kontruksi sosial masyarakat kita yang semakin lama tergerus oleh kapitalisme, yang seringkali menghadirkan tuntutan berlebih kepada setiap individu bukan hanya untuk memuaskan ekspektasi dari individu lain namun lebih dari itu untuk menghadirkan penerimaan bagi jiwa anak-anak kita yang terperangkap, yang merengek minta diperhatikan ketika kedua orang tuanya sibuk memenuhi kebutuhan hidup secara fisik namun abai terhadap kebutuhan psikis.

Kajiman memang bukan horor yang sangat spesial tapi film ini adalah suguhan horor yang unik bagi khazanah perfilman kita. Banyak orang bilang, film ini berbeda karena mencoba untuk mirip seperti “The Wailing” karena coba memainkan soal persepsi. Ada juga yang bilang film ini berbeda karena menjadi satu-satunya film yang berani menantang film raksasa seperti franchise “Fast X”. Namun bagi saya, Kajiman adalah horor yang berbeda karena berhasil memanusiakan dan menghargai akal para penontonnya yang butuh penuturan cerita yang runut dan jelas bukan jumpscare instan minim konteks. Film ini membiarkan kita untuk peduli pada karakter utamanya dengan membangun cerita secara perlahan, tidak gegabah dalam meningkatkan tempo serta membiarkan penonton merasakan penderitaan mereka yang tentu saja merupakan resonansi dari penderitaan manusia yang riil.

Review oleh: Yoseph Setiawan Cahyadi

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s