Guardians of The Galaxy Vol. 3 dan Trauma di Balik Angka

Beberapa minggu yang lalu saya bertemu dengan seorang sutradara muda berbakat yang sudah menelurkan satu film panjang dan satu series. Bagi saya, series yang dia sutradarai adalah series Indonesia terbaik. Namun series yang dia kerjakan dianggap gagal total karena gagal menggaet penonton dalam jumlah besar. Ya, dia kecewa dan masa depannya di perfilman Indonesia kini semakin redup.

Saya jadi teringat pengalaman saya sendiri sewaktu ada produser yang juga tertarik dengan ide cerita saya. Ide cerita, yang awalnya diperuntukkan untuk layar lebar, akan diubah menjadi sebuah series. “Kalau semakin banyak episodenya kan, uang yang bapak terima semakin banyak!” saya sempat tergiur dengan kepercayaan diri sang produser. Namun hal tersebut berubah ketika saya membaca salinan kontraknya yang menjelaskan bahwa fee tiap episode hanya di bawah satu juta rupiah. Hal ini membuat saya jadi berpikir keras tentang keinginan saya sendiri untuk masuk industri film sebagai penulis.

Dan untuk menghilangkan penat karena memikirkan ini, saya pergi menonton di bioskop lagi setelah sekian lama. Dan film yang saya tonton adalah Guardians of The Galaxy Vol. 3. Ketika ruangan menjadi gelap, seketika itu cahaya yang berpendar dari layar seolah menarikku ke dalam dunia penceritaan. Kumpulan rakun yang ketakutan karena dijadikan bahan percobaan. Saya pun mulai menikmati film ini setelah beberapa bulan lamanya, hampir tidak ada film yang meninggalkan kesan dan perasaan yang mendalam.


Guardians of The Galaxy Vol. 3 memang film Marvel yang berbeda. Dari atas permukaan, film ini nampak seperti film aksi tentang seorang teman yang berusaha menyelamatkan nyawa temannya yang lain. Tapi sesungguhnya film ini lebih dari itu. Ada banyak sekali metafora dan analogi yang terdapat di film ini yang sebenarnya sejalan dengan apa yang sedang saya rasakan.

Kisah ini adalah tentang ekspektasi seseorang terhadap orang lain. Tentang ekspektasi Peter Quill terhadap Gamora yang berbeda dari yang dulu dia kenal. Tentang ekspektasi High Evolutionary terhadap ciptaannya yang diharuskan sempurna. Tentang ekspektasi Nebula terhadap Drax dan juga Mantis. Atau bahkan tentang ekspektasi Rocket sendiri sewaktu dulu ketika berharap kepada High Evolutionary dan juga kehidupan bersama tiga temannya.

Tidak jarang ekspektasi ini membunuh kebahagiaan kita. Membuat kita marah dan kesal sehingga tidak segan-segan kita bisa menggunakan orang lain seenaknya. Memperlakukan mereka seperti angka. Maka tidak heran ada begitu banyak angka yang tersemat kepada hewan-hewan percobaan itu.

Tujuan High Evolutionary yang ingin menciptakan masyarakat yang damai dan tanpa perlawanan adalah bahan tertawaan bagi James Gunn. Kenapa? Karena yang sempurna memang tidak ada. Mirip dengan series yang sempurna yang bisa diterima oleh setiap orang namun tetap edgy, seperti yang diinginkan oleh produser dari sutradara kenalan saya itu. Termasuk ketika saya juga berharap pada kondisi yang cukup ideal untuk menulis.

Di akhir cerita kita bisa melihat wajah High Evolutionary yang rusak dan hancur, yang seperti menegaskan trauma yang dia miliki atas apa yang terjadi pada dirinya dan atas ketidaksempurnaan yang dia miliki. Karena hal itu dia berusaha mengendalikan kehidupan dan dirinya sendiri walau untuk mencapai tujuannya itu dia harus memaksakan kehendaknya.

Hal yang sama juga kita lakukan pada anak-anak kita. Begitu banyak sekolah (karena saya sendiri seorang guru) memaksakan anak untuk mempelajari begitu banyak hal. Mencekoki mereka dengan hafalan-hafalan. Lalu memberi mereka nilai sesuai dengan hasil tes mereka. Mereka sampai lupa mengembangkan apa yang seharusnya sudah di dalam diri anak-anak sendiri. Ketekunan, inisiatif, sikap pantang menyerah, kerapihan dan semua yang ada di kotak kecil di bagian ujung bawah buku rapor seolah tidak penting.

Padahal justru itulah yang terpenting karena fungsi pendidikan yang sejati adalah memaksimalkan segala talenta dan bakat yang dimiliki anak agar mereka siap dengan masa depannya. Lalu kalau boleh dibilang, apakah pendidikan kita adalah pendidikan yang berdasarkan trauma? Trauma karena kita dijajah oleh bangsa lain selama 350 tahun. Karena kita merasa inferior?

Trauma memang menjadi ciri khas dari Guardians of the Galaxy Vol. 3. Semua karakter di dalam cerita ini memiliki trauma yang begitu mendalam. Namun lewat perjalanan di ketiga film ini mereka dipersatukan dan diikat sebagai sebuah keluarga dan bersama-sama menghadapi trauma masing-masing. Sebuah film yang sangat-sangat baik.


Pikiran saya kembali terbang pada pertemuan dengan sutradara berbakat yang ada di depan saya. Saya hanya berpikir mungkin produser-produser itu juga punya trauma mereka sendiri. Saya rasa bukan tugas sutradara atau penulis skenario untuk membuat series yang laku. Tugas sutradara dan penulis adalah membuat series yang kualitasnya baik dan mereka sudah berusaha keras, berdarah-darah melakukan itu. Saya hanya berharap bagi sutradara muda di depan saya agar dia tidak menyerah dan terus berusaha dan berharap sama seperti Rocket yang tidak menyerah dan memilih untuk untuk bertahan dan menang.

Review oleh: Yoseph Setiawan Cahyadi

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s