Genre horor merupakan sebuah genre yang sangat populer di kalangan masyarakat Indonesia baik tua maupun muda. Dari era keemasan film horor di tahun 1980-an sampai sekarang di tahun 2023. Genre horor masih menjadi magnet paling kuat untuk menarik penonton dalam jumlah besar. Terlepas dari keragaman cerita atau cerita apa yang disajikan, genre horor selalu bisa menarik pendapatan yang cukup ke kantong produsernya. Dan jangan lupakan juga film terlaris di Indonesia saat ini dengan raihan 10 juta penonton masih dipegang oleh film horor. Tidak heran film horor masih akan terus memenuhi layar perfilman kita setidaknya sepanjang tahun ini. Kenapa memenuhi karena hanya sangat sedikit film horor yang memberikan keragaman tema dan cerita sehingga fungsi utama film dengan genre seperti di Indonesia hanya untuk mengisi slot pada layar kita, dan kontribusi yang diberikan hanya melulu soal jumlah penonton dan materi. Sesuatu yang baik namun hanya baik dari satu segi saja.
Qodrat, sebuah film garapan Charles Gozali juga ikut berkontribusi dalam angka-angka itu. Namun tidak hanya itu, ada sebuah fondasi penting yang film ini juga ikut bangun ke dalam fondasi perfilman kita. Bikin film horor religi dengan isu personal dan penting rupanya masih bisa diterima dengan baik di Indonesia. Dan pada aspek inilah Qodrat layak untuk dikuliti.
Film horor Indonesia sejak tahun 1980 hingga sekarang sangat kental dengan unsur religi. Tentang unsur baik dan buruk atau benar dan salah. Kebanyakan tokoh utama di cerita horor di Indonesia akan menghadirkan tokoh yang hidupnya terzolimi oleh pihak lain, sehingga ketika dia menjadi hantu penasaran, dia seperti kekuatan untuk membalas kejahatan dari orang-orang yang menghabisinya. Hal yang seperti ingin menggarisbawahi bahwa setiap perbuatan jahat pasti akan mendapatkan ganjaran yang setimpal. Dan hal ini seperti menjadi sebuah pakem yang sangat generik di genre Horor di Indonesia. Tokoh agama di dalam cerita lebih sering memegang peranan penting dalam menjaga keselamatan tokoh-tokoh lainnya dari amukan setan. Dan seringnya digambarkan menang melawan arwah-arwah penasaran tersebut. Lantunan doa yang berkumandang akan membuat arwah-arwah itu kepanasan dan pergi untuk selama-lamanya. Hal ini tentu menciptakan sebuah stigma baru di masyarakat tentang penggunaan baju putih atau baju keagamaan lainnya yang bisa membuat seseorang dianggap suci.

Qodrat tidak patuh pada pakem-pakem tersebut. Dari awal kita bisa melihat bagaimana ustaz yang menjadi karakter agama di dalam cerita ini nampak berjibaku dan habis-habisan dalam menghadapi iblis yang bersemayam di dalam tubuh anaknya sendiri. Dan ujung dari segala perjuangan itu adalah kegagalan yang menelan nyawa anaknya sendiri dan menimbulkan kekecewaan mendalam di hati sang ustaz yang bernama Qodrat ini. Kekecewaan ini yang akhirnya membuat Qodrat memiliki krisis keimanan yang luar biasa yang membuatnya terbelenggu dalam keragu-raguan pada dirinya sendiri dan juga pada Tuhannya.
Dari adegan pembuka ini saja kita bisa melihat dengan jelas penggambaran karakter Qodrat sebagai seorang ustaz yang begitu manusiawi yang tidak lepas dari kesalahan serta rasa sayang yang berlebih kepada anaknya yang membuat dia menjauh dari Tuhan. Sebuah hal yang sangat wajar kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Visualisasi yang ciamik serta pengadeganan yang mumpuni membuat perasaan yang bergejolak dialami oleh Ustaz Qodrat sebagai sebuah perjalanan spritual tersendiri yang puitis dan membumi. Hal ini juga tidak lepas dari penulisan skenario yang baik oleh trio penulis skenario Charles Gozali, Gea Rexi, dan Asaf Antariksa.
Lewat pendekatan pembangunan cerita yang lebih menekankan pada karakter di mana alur dari sebuah cerita akan bergerak mengikuti cela/flaw yang dimiliki oleh karakter, film Qodrat seolah ingin menggebrak stigma yang sampai saat ini masih dipercaya oleh banyak orang Indonesia. Tidak hanya stigma tentang baju putih atau pakaian keagamaan tertentu yang bisa membingkai seseorang menjadi orang yang lebih luhur dan suci dibandingkan dengan orang lain. Lebih daripada itu, film Qodrat berhasil membongkar pemahaman kita akan baik dan buruk yang terlalu mengeneralisasi segala sesuatu. Pertanyaan yang akan timbul di pikiran ketika menonton film ini adalah apa yang sebenarnya baik dan sebenarnya buruk. Bukankah dia baik tapi kenapa dia dicobai? Atau bukankah dia baik lalu mengapa dia beralih ke jalan yang lain? Pertanyaan-pertanyaan ini akan memaksa penontonnya keluar dari kotak nyaman baik dan buruk.
Konsep baik dan buruk adalah konsep yang berkembang di dalam masyarakat dunia yang sejatinya bersumber dari ajaran agama apapun. Di dalam ajaran tersebut akan ada tuntunan untuk menjadi orang yang baik. Sehingga orang-orang yang tidak melakukan perbuatan orang-orang baik akan bisa dengan mudah diklasifikasikan sebagai orang-orang buruk. Namun yang tidak boleh dilupakan dalam ketuhanan adalah sikap Tuhan yang maha Pengasih. Sehingga baik atau buruk semestinya tidak menjadi standar untuk mengklasifikasikan atau menghakimi orang lain yang belum dikenal maupun sudah dikenal karena setiap orang dibentuk dari pengalaman hidup yang berbeda-beda, pola asuh yang berbeda-beda, serta lingkungan yang berbeda-beda. Stigma baik dan buruk hanya akan memampatkan perbedaan tadi menjadi dua polar yang saling bertolak belakang. Dunia yang tadinya bulat pada akhirnya dipipihkan dan berubah menjadi sebuah tombak bermata dua yang saling menusuk.
Di film Qodrat kita bisa menyaksikan seorang ahli agama, yang ahli mengusir setan, yang mempertanyakan keimanannya sendiri. Dengan gamblang kita bisa mendengar suara iblis bisa mengucapkan salam yang sama yang biasa digunakan antara umat beragama. Qodrat seakan ingin mempertanyakan kembali soal keimanan kita sendiri. Apakah iman hanya dibentuk dari sebatas pengetahuan yang semenjana soal agama dan kitab suci ataukah keimanan itu ditumbuhkan lewat pengalaman hidup, lewat rasa sakit, penderitaan dan kebahagiaan, lewat perjumpaan dan perpisahan.
Di penghujung perang Mahabarata, Karna, Putra tertua Dewi Kunti, menarik busur panahnya kencang-kencang. Di atas kereta kudanya yang sudah miring dan tidak bisa lagi berjalan dia berusaha untuk menembakkan panahnya ke arah Arjuna, yang merupakan adiknya sendiri tanpa sepengetahuannya. Dia membacakan aji dan segala doa yang bersumber dari pengetahuan yang dia terima dari gurunya Parasurama. Namun sekian lama dia membaca mantra, dahinya mulai mengernyit. Dia nampak berusaha mengingat mantra yang dulu diajarkan oleh gurunya itu sampai sebuah ingatan masuk ke dalam kepalanya. Sebuah kutukan dari gurunya kembali dia ingat karena kala itu Karna mencari pengetahuan sedemikian rupa untuk membalaskan sakit hatinya pada orang-orang yang telah meremehkan dirinya, sehingga dia sampai menipu gurunya dan berpura-pura menjadi seorang brahmana.
Pengetahuan yang diagung-agungkan oleh Karna di kereta kuda, yang terbuat dari emas, yang sudah timpang itu, sirna begitu saja karena fokus Karna yang salah kepada pengetahuan untuk menghakimi dan membalas dendam bukan untuk kebenaran. Dan di saat penentuan itu dia pun dikalahkan oleh Arjuna, yang kereta kudanya masih berdiri dengan tegak karena di balik tali kekang kudanya ada sepasang tangan Tuhan itu sendiri.
Film Qodrat adalah sebuah film yang merdeka. Sebuah film yang keluar dari pakem-pakem yang sudah ditetapkan agar bisa mendapatkan keuntungan yang maksimal agar bisa memiliki keleluasaan dalam bercerita secara personal dan lebih dalam mengenai eksistensi keyakinan, benar atau salah yang seringkali didewakan oleh manusia saat ini. Pada akhirnya semua kembali bukan kepada pengetahuan itu sendiri tapi seberapa jauh manusia memahami pengetahuan itu secara penuh dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Review oleh: Yoseph Setiawan Cahyadi