Delapan belas tahun berlalu sejak kematian Neo dan Trinity atas nama kemanusiaan di kota mesin, sekuel terbaru dari franchise The Matrix mungkin akan terdengar sebagai sekedar candaan belaka. Tapi here we are! Lana Wachowski datang tanpa saudara perempuannya, Lilly, dan ia kali ini benar-benar membangunkan kembali sci-fi action mega bujet revolusioner itu dari tidur panjangnya dalam installment terbarunya, The Matrix Resurrections yang rilis hanya seminggu dari film terbesar tahun ini, Spider-Man: No Way Home yang entah kebetulan semata, keduanya adalah sekuel meta dari kembalinya para pahlawan-pahlawan besar dengan keakraban masa lalu.

The Matrix Resurrections tak hanya menjadi proyek ambisius Lana Wachowski, tapi ini tentu juga personal tak hanya buat dirinya tapi juga buat penonton triloginya sekaligus mungkin sebagai usaha penebusan dosa atas Reloaded dan Revolutions yang mengecewakan. Resurrections, seperti judulnya adalah cerita kebangkitan. Wachowski mengajak kita kembali ke dunia Matrix yang kompleks dengan segala filosofi kehidupan dan kebebasan. Masih membawa dua pentolan utamanya, Keanu Reeves dan Carrie-Anne Moss yang mulai menua. Pertanyaan terbesarnya, apa yang mau diceritakan Wachowski di Resurrections?
Ya, sama-sama kita tahu, Neo ternyata tidak mati, dan bersama keluarga barunya, ada Trinity juga di sana, namun mereka tak saling mengenal lagi satu sama lain. Lebih lengkapnya, Resurrections dalam olahan naskah Wachowski bersama David Mitchell dan Aleksandar Hemon berada di jagat Matrix versi baru. 60 tahun setelah Revolutions, Neo yang tewas dihidupkan kembali oleh para mesin dengan tubuh baru dan ingatan baru. Ia kembali menjadi Thomas Anderson, pekerjaannya adalah pembuat video game tersohor sampai ia bertemu karakter baru, Bugs (Jessica Henwick) yang mengubah semuanya.

Satu jam pertama Resurrections dipenuhi nostalgia menyenangkan. Seperti de javu buat penonton veteran melihat Trinity kembali beraksi sama persis seperti 22 tahun lalu hanya saja bukan wajah Carrie-Anne Moss yang berada di balik seragam hitam ketat itu, kemunculan karakter eksentrik Bugs dengan rambut birunya yang mengamati semuanya dan mengomentari “Bukan seperti ini yang seharusnya terjadi”. Sejak adegan pembukanya Wachowski seperti merayakan kejayaan masa lalu dengan melakukan banyak reka ulang momen-momen ikonik di The Matrix baik melalui polesan baru rasa lama atau sekedar klip-klip video cepat tapi yang menjadi menarik adalah bagaimana selanjutnya ia menggabungkannya dengan narasi meta bersama misteri memikat dan banyak percakapan teknis tentang versi baru Matrix pasca Revolutions termasuk tentu saja tema tentang free will dan eksistensi diri sampai dunia digital yang menghilangkan batasan antara kenyataan dan fantasi.
Beberapa karakter lama juga kembali selain Neo dan Trinity dalam wajah-wajah baru. Mengganti Morpheus-nya Laurence Fishburne dengan Yahya Abdul-Mateen II adalah penyegaran yang tepat. Bugs yang dimainkan Jessica Henwick juga memesona sekaligus menjadi penggerak utama narasi, bahkan Niobe si Kapten Kapal Logos juga kembali bersama Jada Pinkett Smith dengan make-up yang tak dikenali. Kalau ada yang sangat disayangkan mungkin adalah pergantian Hugo Weaving ke Jonathan Groff sebagai Agen Smith yang ikonis. Bukan karena Jonathan Groff buruk tapi Agen Smith-nya Weaving itu tak tergantikan, oleh siapapun.

Ya, mungkin setelah satu jam yang sedikit rumit dan panjang yang juga digunakan Wachowski untuk menambal kerusakan yang terjadi pada Revolutions, Resurrections langsung mencoba injak gas. Lebih banyak menginjeksinya dengan serum aksi digital heist tanpa melupakan pendekatan narasi yang menjadi lebih personal, dalam kasus ini, tema tentang kekuatan cinta coba dipamerkan Wachowski bersama reuni romantis antara Neo dan Trinity yang kemudian mengambil alih narasi Resurrections dengan pace yang terjaga dengan baik.
Berbicara soal waralaba The Matrix, tentu saja action akan menjadi salah satu trademark-nya, tidak terkecuali Resurrections. Ya, memang harus diakui juga dibanding tiga seri pendahulunya, Resurrections tak lagi menawarkan sesuatu yang revolusioner atau secanggih sepeti teknologi bullet time yang mengguncang dunia sinema dua dekade silam, atau car chase mendebarkan di keramaian jalan tol seperti di Reloaded. Bahkan sedikit disayangkan kekuatan Neo juga harus kena nerf. Namun Wachowski masih memberikan parade aksi gila-gilaan dalam balutan CGI spektakuler yang eye catching, coba lihat saja momen ‘bom manusia’ yang mendebarkan itu.

Pada akhirnya apa yang dilakukan Lana Wachowski pada The Matrix Resurrections yang terasa lebih personal dan intim ini mungkin tidak akan memuaskan semua penontonnya, apalagi penonton yang nekat langsung menceburkan dirinya tanpa membasuh diri mereka terlebih dulu dengan tiga seri pendahulunya. Tapi buat penonton veteran, Resurrections adalah mimpi dua dekade yang akhirnya terwujud, memang bukan mimpi yang sempurna dengan beberapa elemen penting yang tereduksi, tapi Resurrections masih The Matrix yang kita kenal dengan segala filosofinya tentang pilihan dan kebebasan hidup, apalagi kali ini ditambah cinta.
Ditulis oleh Hary Susanto a.k.a Hafilova