Akhirnya tiba juga kita di penghujung tahun 2021. Pandemi memang belum berakhir, tapi setidaknya geliat perfilman di era kenormalan baru ini mulai menunjukkan taringnya lagi. Film-film baru mulai bermunculan, bahkan film-film yang sudah lama tertunda pun mulai menunjukkan kepastian untuk segera tayang di bioskop.
Sama halnya dengan geliat perfilman di platform streaming yang terus menunjukkan keberagaman dan alternatif tontonan yang tak kalah menarik dari film layar lebar. Bahkan film Indonesia terbaik versi Piala Citra tahun ini, PENYALIN CAHAYA, akan rilis global di Netflix pada bulan Januari mendatang.
Maka dari itu, tidak afdol rasanya jika belum membahas film-film terbaik versi penulis di website Cine Crib. Website ini seumur jagung pun belum, masih berusaha menyusul kakak-nya yang sudah lima tahun berjalan. Tapi semoga ulasan-ulasan film di dalamnya dapat memberikan perspektif baru untuk para pecinta film di manapun kalian berada.
Untuk menutup tahun ini, maka saya akan mengucapkan apa yang Macklemore katakan di lagu barunya, memang sih tidak ada kaitannya dengan film, tapi saya yakin next year’s gonna be better than this year. – ariasparrow
Arya Pratama Putra’s Top 5
CODA
Dari segi representasinya saja, versi remake buatan Sian Heder sudah lebih terhormat. Cerita tentang keluarga tunarungu kali ini dimainkan bukan oleh aktor yang berpura-pura tidak mampu mendengar. Nonton ini jadinya terasa real sekali. Keluarga tunarungu tersebut tidak pernah dituliskan naskah untuk meminta belas kasihan. Instead, yang kita saksikan di layar adalah keluarga nelayan yang berjuang memenuhi kebutuhan sehari-hari. Seperti keluarga kita. Sehingga masalah mereka menjadi masalah universal.
Kita dibuat dengan gampang merasakan simpati kepada mereka. Namun yang paling meluluhkan hatiku dalam film ini adalah persoalan karakter utamanya. Ruby. Emilia Jones di sini memerankan cewek remaja yang jadi pondasi keluarga (karena dia satu-satunya yang berpendengaran normal dalam keluarganya). Dari penampilan aktingnya menguar semua persoalan emosional yang menimpa seorang anak yang berada di posisi itu. Ketika dia sendiri juga punya hidup dan kemauan, dan bakat, tapi dia berkewajiban untuk mendahulukan kepentingan orang tua-nya.
Permasalahan Ruby pada dasarnya merupakan permasalahan yang juga menimpa banyak remaja lain. Keluarga Ruby tidak dapat mendengar suara nyanyiannya, tidak dapat menikmati bakat miliknya. Ini adalah cerminan dari betapa banyak remaja di luar sana, yang punya bakat atau hobi tapi keluarga tidak mengerti kemampuan dirinya. In the end, CODA adalah drama keluarga yang sekali lagi berakar kepada komunikasi. Tapi penceritaan film ini tidak sekalipun tampil datar, dibuat-buat, ataupun generic. Melainkan selalu penuh hati, real, dan tidak-normal. Unik.
Blood Red Sky
Kupikir genre vampir telah mati. Market-nya memang sudah jenuh. Apalagi di tahun 2021, dengan situasi global yang jauh – yang terbukti mampu menginspirasi banyak lagi horor yang lebih kuat. Blood Red Sky memang bukan yang terbaik. Tapi tak pelak berhasil menghembuskan napas baru bagi genre ini. Sutradara Peter Thorwath berhasil menggabungkan thriller ruang tertutup, thriller pembajakan pesawat, serta thriller creature; mempertemukan mitologi vampir dengan kapitalis, serta agama, dengan sangat seimbang.
Di balik kengerian seru tersebut ada cerita emosional ibu yang berusaha melindungi anaknya. Seorang ibu yang ternyata adalah vampir, berusaha melindungi anaknya dari teroris di pesawat. Naskah terus menggali sedalam-dalamnya. Tidak pernah ada kemudahan. Protagonisnya meskipun vampir, tapi dia justru sangat vulnerable.
Mulai dari menahan kebuasan vampirnya, ke tudingan orang-orang di pesawat, hingga ke teroris itu sendiri. Kalo ada yang minta rekomen film untuk Hari Ibu, aku akan menyodorkan film ini. Karena inti manusiawi yang membuat karakter dan elemen horor itu sendiri bekerja efektif, tidak pernah dilupakan oleh film ini. Yang pada gilirannya, membuat film ini tidak gampang terlupakan bagiku.
The Suicide Squad
Cerita dengan karakter bejibun biasanya berakhir dengan tidak imbang, datar dan membosankan. It’s either gak semua karakter mendapat sorotan dan pendalaman, atau malah semua karakternya gak punya pengembangan dan kita hanya melihat aksi-aksi seru tanpa bobot di baliknya. Itulah yang terjadi pada Suicide Squad pertama. Dan kesalahan itu tidak dilakukan James Gunn pada proyek The Suicide Squad.
Semua karakter di sini punya pengembangan, mereka tidak satu dimensi. Mulai dari mercenary yang takut tikus dan gak percaya teamwork, seorang penjahat yang saking cintanya sama damai, dia rela membunuh siapapun untuk mencapai itu, hingga ke hiu yang belajar membedakan mana teman mana makanan. Semua karakter punya perjalanan, semua karakter punya bobot emosi. Punya perspektif yang berhasil dicuatkan oleh Gunn.
Ketika soal karakter sudah tertangani dengan baik, ia tinggal fokus ke aksi. Dan luar biasa sekali sebuah adegan aksi terasa jika kita tahu emosi dan journey apa yang melatarbelakangi para karakternya. Film ini juga tidak pernah terasa seperti aksi template. Gunn mengerahkan semua kreativitasnya untuk menghidupkan karakter, dan bersenang-senang dalam adegan aksi.
Tidak satupun laga tersebut bergantung kepada baku hantam dan CGI semata. Setiap adegan terasa berbeda, terasa punya flow masing-masing. Terakhir, tambahkan komedi di atas itu semua. Dan dapatlah kita aksi superher… sorry, maksudnya supervillain super seru, super kocak, yang penuh hiburan dan kreasi paling meriah seantero 2021.
The Mitchells vs. the Machines
Sepertinya aku memang benar-benar punya soft spot untuk film tentang drama remaja dalam keluarga. Karena The Mitchells vs. the Machines sebenarnya punya permasalahan yang mirip ama CODA, tapi dengan style yang jauh berbeda. Film ini juga tentang remaja yang punya bakat, tapi orang tua – di kasus ini terutama ayahnya – punya value berbeda terhadap bakat tersebut. Di sini, ayahnya gak melihat bakat bikin film dan teknologi sebagai sesuatu yang, katakanlah, penting. Nah, pada elemen bikin film/video dan teknologi itulah film ini menguatkan identitas yang membuatnya menjadi sungguh-sungguh unik.
Selain cerita keluarga yang bertualang bersama, yang belajar untuk saling memahami, ada banyak banget yang bisa disukai dari film ini. Pertama tentu saja visualnya. Animasi 3D bergaya unik, dipadukan dengan shade-shade ala gambar tangan sehingga tampak mulus dan mencuat keluar dari layar. Semua visual akan menjadi pondasi lelucon, yang actually mengambil referensi kepada kultur internet dan media sosial. Sehingga film ini jadi super duper dekat dengan kita semua.
Dan satu lagi yang paling kusuka dari film ini adalah ceritanya sangat berimbang. Komedinya yang meluncur nyaris terus-menerus sepanjang film yang berjalan cepat ini, gak pernah bikin film jadi receh, berkat hati dan karakterisasi. Film juga gak pernah benar-benar mengantagoniskan teknologi. Melainkan mengajarkan anak dan orang tua untuk menggunakan teknologi semaksimal mungkin, dengan tak lupa bertanggungjawab. Makanya film dengan desain dan komedi kocak, pintar, dan self-aware ini akan jadi pilihan pertamaku bila nanti ada nobar bareng keluarga di rumah.
Annette
Yang teringat sama sebagian besar penonton dari film ini mungkin adalah adegan ML sambil nyanyi. Dan itu gak apa-apa. Itu hanya membuktikan bahwa lewat Annette ini Leos Carax memanglah filmmaker yang paling jago membuat film paling aneh sedunia. Gak ada yang normal dalam film ini. Annette adalah musikal, yang seluruh dialognya dilakukan lewat nyanyian, yang adegan-adegannya yang dimainkan para aktor begitu total seperti adegan teater.
Karakternya punya hubungan cinta yang tak kalah anehnya. Stand-up komedian menikahi penyanyi opera, kemesraan mereka kita lihat muncul di headline media, dan kemudian mereka dikaruniai anak. Berwujud boneka kayu. Kerennya, segala keanehan tersebut bukan hanya gimmick. Carax mem-backup desain edannya dengan cerita tragedi tentang cinta, karir, dan keluarga.
Film ini berani tampil begitu artifisial, karena pembuatnya tahu persis bahwa dia sedang mengeluarkan muatan emosi yang real. Jarang sekali ada filmmaker yang berani kayak gini. Terlebih di masa pemulihan sinema dari pandemi sekarang ini. Kebanyakan bermain aman. Annette berani mengambil risiko. Dan aku kalo disuruh milih ya akan memilih film aneh yang berani tampil bercela demi menyuguhkan tontonan berbeda, dibandingkan film normal yang berusaha keren tapi tetap terasa seperti sesuatu yang sudah kita lihat berulang kali. Kreativitas harus dirayakan. Dan Annette melakukan itu semua. Aku tidak bisa tidak mencintai film ini.
Follow Arya Pratama Putra a.k.a aryaapepe on Twitter and mydirtsheet.com
Paskalis Damar’s Top 5
Saint Maud
Di tengah komunitas agamis, sering ada stigma yang mengasosiasikan depresi dengan kurangnya iman. Saint Maud, debut penyutradaraan Rose Glass, mendekonstruksi stigma tersebut dan merangkainya ulang dalam horror psikologis yang membuat begidik. Stigma tersebut dibaliknya dengan provokatif. Bagaimana kalau penderita depresi memakan mentah-mentah kekurangan imannya dan kini justru mabuk iman? Jawabannya disampaikan dengan lantang lewat visual yang mengerikan serta penampilan gemilang Morfydd Clark yang mengais jejak Tuhan dalam kegelapan, namun justru menemukan hal lain yang amat mengerikan.
Ketika banyak film horror menghadirkan adegan kerasukan setan, Saint Maud menampilkan kebalikannya. Glass menghadirkan rasa sakit tak terperikan ketika ia mensejajarkan trauma psikologis yang dialami protagonisnya dengan teror yang muncul karena kerasukan iman. Terdengar provokatif memang, tapi film ini memang mengajak penontonnya untuk menilik ulang, apakah iman yang kita butuhkan dalam setiap hal?
The Power of the Dog & Mass
Sedikit susah untuk menentukan drama terbaik 2021 ini karena saking banyaknya drama yang mengena. Pilihan saya jatuh antara The Power of the Dog dari Jane Campion dan debut penyutradaraan Fran Kanz, Mass.
Kecemburuan dan perasaan-perasaan yang terpendam menjadikan The Power of the Dog sebuah kisah yang kaya. Campion sekali lagi membuktikan keahliannya sebagai seorang pencerita ulung yang meskipun dikelilingi bintang-bintang terbaik Hollywood, mulai dari Benedict Cumberbatch sampai Kirsten Dunst, suaranya tegas bertutur. Elegi Western ini mengulik bukan hanya machismo di tengah komunitas koboi, namun juga rapuhnya maskulinitas yang tercium namun tak terlihat.
Jika The Power of the Dog menawarkan tuturan subtil, Mass menampilkan ledakan-ledakan emosi yang tercurah ketika orang tua pelaku school shooting dihadapkan pada orang tua korbannya. Merasionalisasi tragedi bukanlah hal yang mudah dan kisah ini mencoba menghadirkannya dengan intim nan memilukan tanpa menggarami luka. Kranz merangkumnya dalam percakapan yang intens namun penuh empati. Kejadian yang dialami kedua pasang orang tua ini adalah cobaan yang berat dan ledakan-ledakan amarah takkan bisa memutar balik waktu. Untuk itulah, sensitivitas & simpati yang dihadirkan Kranz berbicara.
Ketika menonton film ini dari screening Brehm Films, saya sampai harus menenangkan diri setelahnya. Konten film ini, meskipun tidak graphic, terasa amat berat.
The Worst Person in the World
Sudah lama tidak menemukan romansa seperti film Joachim Trier ini. The Worst Person in the World yang melengkapi Trilogi Oslo ini adalah anti-romance langka yang justru menguarkan manisnya romcom dengan takaran yang pas. Judulnya unik, karena bukannya menghakimi siapa orang terjahat di dunia di antara karakter-karakternya, drama ini justru merenungkan apa saja faktor yang menjadikan kita orang-orang terjahat dalam hubungan.
Dalam bab-bab-nya yang bukan Hanya menceritakan suka-dukanya hubungan, tapi juga faktor lain seperti peran seks, keluarga hingga gerakan #MeToo, film ini bisa tampil sangat rapuh, namun sebaliknya bisa juga begitu hangat. Renata Reinsve menunaikan tugasnya dengan cemerlang — menuntun penonton dalam turbulensi romansa muda-mudi modern yang progresif namun takut komitmen. Yang terpenting, film ini bisa juga dijadikan check list untuk menguji seberapa sehat hubungan yang tengah dijalani penontonnya.
Language Lessons
Film komedi terbaik tahun ini jatuh pada film terhangat 2021, Language Lessons yang ditulis, disutradari, dan dibintangi oleh Natalie Morales. Ketika film bertema video call atau komunikasi jarak jauh mulai terasa membosankan (berbulan-bulan kerja atau sekolah via Zoom mungkin jadi penyebabnya), film ini menghadirkan alasan untuk percaya lagi.
Morales awalnya berperan sebagai guru Bahasa Spanyol Mark Duplass; namun, hubungan mereka menghangat dan berkodependensi dari waktu ke waktu. Keduanya bersenyawa dalam duka, kerapuhan, dan kesepian mereka melalui obrolan sederhana tapi intim. Hangat, menenangkan, namun tepat lucu dengan kadar yang pas, hubungan platonik keduanya mampu membuat penontonnya ingin merasakan sesuatu lagi — entah itu cinta atau apapun yang ada.
Riders of Justice
Dad— maksudnya, Mads Mikkelsen kembali berperan sebagai seorang ayah idaman kali ini di film Anders Thomas Jensen. Berawal dari sebuah kecelakaan kereta, Mikkelsen yang tengah bertugas sebagai tentara harus pulang untuk memberi penghormatan terakhir pada istrinya sekaligus merawat putrinya yang Masih remaja. Kepulangannya disambut segerombol pria paruh baya culun yang mengaku punya teori bahwa kematian istrinya adalah sebuah kesengajaan. Yang hadir selanjutnya adalah komedi gelap a la Coen Brothers.
Riders of Justice terasa brutal, ruwet, dan chaotic apalagi karena plotnya bermain-main dengan teori probabilitas dan, yes, cocoklogi. Tingkat brutalitasnya tidak semasif John Wick atau Nobody, namun kekacau-balauan yang dihadirkan dengan lebih jujur. Sepertiga akhir filmnya adalah moments of revelation.
Follow Paskalis Damar a.k.a sinekdoks on Twitter and sinekdoks.com
Hary Susanto’s Top 5
The Innocents
Dari luar, The Innocents sepertinya hanya sekedar menampilkan kisah bocill-bocil ingusan yang tengah menjalin persahabatan baru di blok apartemen mereka sebagai premis dan karakter sentralnya, tapi tunggu! Jangan pernah sekalipun tertipu apalagi meremehkan hangatnya liburan musim panas cerah di hijaunya hutan Norwegia serta tawa serta tingkah polos yang terlihat dan terdengar.
Karena begitu kamu lengah, horor Nordik supranatural garapan Eskil Vogt yang mencekam, provokatif dan dipenuhi pembelajaran moral kaum muda ini akan menghukummu tanpa ampun dengan twist pintar dan juga mengerikan, sama mengerikannya seperti yang terjadi pada nasib seekor kucing malang yang ada di sini.
C’Mon C’Mon
Menonton Joaquin Phoenix, yang sekali lagi tampil luar biasa, dan si kecil Woody Norman yang menggemaskan nge-bonding sempurna sebagai paman dan keponakan yang tengah jalan-jalan sembari kerja keliling Amerika di hampir dua jam dalam dunia tanpa warna Mike Mills yang cantik, hangat dan lembut menjadi salah satu pengalaman sinematik paling menyenangkan dan juga emosional tahun ini.
Ini cerita tentang mendengarkan satu sama lain, membuang perbedaan usia dalam melihat dunia dari dua sisi di mana kedua karakternya saling menyembuhkan satu sama lain dalam menyambut masa depan yang lebih baik.
My Missing Valentine
Ini adalah cerita cinta tak biasa dari pasangan paling tak biasa di dunia. Satu adalah Xiao Chi, karyawati kantor pos yang melakukan apapun itu dengan kecepatan lebih ketimbang manusia normal. Satu lagi adalah A Tai, antitesisnya, seorang sopir yang sangat lambat.
Keduanya bertemu di kantor pos. Dari sinilah romansa komedi dan cerita cinta sejati paling menyenangkan dan juga paling manis tahun ini dimulai dengan segala keunikan presentasinya serta narasi yang berbelok tajam, dipenuhi kejutan dan juga taburan banyak hati.
Spider-Man: No Way Home
Menjadi film terbesar di ujung 2021, Spider-Man: No Way Home dengan mudah memenangkan hati setiap penontonnya yang tumbuh dan besar bersama si manusia laba-laba sejak awal milenium baru. Believe the hype! Ya, ini jelas adalah sajian superhero terbaik tahun ini, tak ada lawannya! Sebuah pertunjukan roller coaster emosional yang menawarkan begitu banyak kesenangan, kejutan dan rentetan momen epik yang bisa bikin merinding, menangis, tertawa dan juga menjerit kegirangan.
Walaupun mungkin belum bisa mengalahkan sensasi Avengers: Endgame tiga tahun silam yang luar biasa itu, tapi senang rasanya bisa ikut merayakan kembalinya euforia sinema layar lebar yang meriah setelah dua tahun kita terkurung di rumah (bersama laba-laba beneran).
Beyond the Infinite Two Minutes
Mungkin tidak terlalu berlebihan jika saya sampai melabeli komedi fiksi ilmiah Jepang karya Junta Yamaguchi ini sebagai gelaran paling gila, paling jenius dan paling mind-blowing tahun ini! Konsep pintar dan unik tentang time loop yang belum pernah ada sebelumnya. Melibatkan hanya satu lokasi, satu televisi dan satu iMac serta 2 menit kejadian dari masa lalu dan masa depan dalam durasi 70 menit.
Dan yang paling luar biasa, semuanya dieksekusi hanya dalam satu kali pengambilan gambar! Ya, satu kali take! Beyond the Infinite Two Minutes adalah definisi dari sebuah kekocakan jenius yang luar biasa!
Follow Hary Susanto a.k.a hafilova on Twitter
Taufiqur Rizal’s Top 5
Tick, Tick… Boom!
Pernahkah kamu merasa, “umur udah segini tapi kok hidup masih gitu-gitu aja ya?” Jika ya, maka Tick, Tick… Boom! akan beresonansi kuat denganmu. Biopik musikal penulis teater, Jonathan Larson, yang disadur dari drama panggung berjudul sama ini membawa muatan bertopik quarter life crisis yang terasa begitu akrab. Kita tidak hanya ditampar habis-habisan, tapi juga diajak berkaca seraya merenungi diri.
Kedekatan pada isunya memungkinkan kita untuk memahami konflik yang dihadapi oleh si tokoh utama sehingga setiap pergulatan batinnya memancarkan emosi tersendiri. Terlebih lagi, Andrew Garfield menghidupkan karakter Jonathan secara cemerlang dan Lin-Manuel Miranda yang memulai debut penyutradaraannya di sini pun luwes dalam bertutur. Di saat telinga ini dimanjakan oleh tembang-tembang musikalnya yang catchy, hati dipermainkan sedemikian rupa oleh narasinya yang pedih, lucu sekaligus menguatkan.
Yuni
Karya terbaru Kamila Andini ini mengutarakan keresahan para perempuan di tanah air yang kehilangan harapan serta pilihannya lantaran dikekang oleh patriarki. Menceritakan seorang remaja yang ditekan oleh lingkungan sekitarnya untuk menikah muda alih-alih melanjutkan pendidikan, Yuni membingkai isu soal kepemilikan tubuh, kemiskinan, kekerasan dalam rumah tangga sampai pernikahan dini dengan sangat apik.
Akting Arawinda Kirana begitu kuat dalam menghidupkan sosok Yuni yang merepresentasikan banyak perempuan di luar sana yang tidak memiliki kebebasan untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. “Mengapa sekolah tinggi-tinggi kalau ujung-ujungnya cuma berakhir sebagai ibu rumah tangga?” begitu pikir tetangga-tetangga si tokoh utama. Tapi yang membuatnya terasa amat pedih, suara-suara sumbang seperti ini tak hanya terdengar dalam film ini, tapi juga di manapun para perempuan menghembuskan nafas.
Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas
Diadaptasi dari novel populer karya Eka Kurniawan yang ramai diperbincangkan, Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas adalah penghormatan ciamik terhadap film-film dari era 80 dan 90-an baik bergenre drama percintaan, laga maupun horor supranatural. Demi memberi tampilan yang otentik, Edwin selaku sutradara tak hanya memperhatikan detail pada penggunaan dialog baku, artistik, serta tata rias dan busana yang serba retro, tapi juga memanfaatkan seluloid 16mm yang menebalkan latar waktunya.
Alhasil, penonton seolah-olah dilempar kembali ke tiga dekade silam kala mengikuti kisah kasih Ajo Kawir dengan Iteung yang penuh lika-liku. Ditambah lagi, Marthino Lio, Ladya Cheryl, dan Reza Rahadian berlakon meyakinkan sebagai preman yang tumbuh di dekade 80-an. Selain mengungkit persoalan ‘burung’ si tokoh utama yang tak bisa ngaceng, film ini juga berbicara permasalahan lain yang lebih pelik semacam toxic masculinity, kekerasan seksual, hingga pemerintah yang opresif.
Penyalin Cahaya
Saat Penyalin Cahaya memborong 12 Piala Citra yang menjadikannya sebagai pemenang terbesar sepanjang sejarah Festival Film Indonesia, banyak mata tertuju padanya. Sebagus apa sih kok bisa menang sebegitu banyak? Nyatanya, karya panjang perdana dari Wregas Bhanuteja ini memang layak memperoleh apresiasi tinggi-tinggi. Merentang panjang hingga 130 menit, film ini sanggup membawakan isu kekerasan seksual di kampus dengan penuh sensitivitas seraya membetot atensi penonton sedari awal dengan guliran kisahnya yang tersaji amat intens dan tak pernah melepasnya sampai adegan penutupnya yang mengaduk-aduk emosi.
Pemain ensambelnya begitu kokoh, dengan kredit khusus kepada Shenina Cinnamon yang mempertontonkan akting terbaiknya sepanjang karir. Kamu bisa merasakan kebingungannya, ketakutannya, serta keputusasaannya. Namun ketimbang menyerah pada nasib buruk yang menghampirinya, karakternya digambarkan memilih untuk melawan dan memperjuangkan keadilan untuk dirinya sendiri maupun mereka yang terlalu takut untuk bersuara.
Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings
Menilik trailernya yang kurang meyakinkan, siapa sangka jika Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings mampu menjelma sebagai sajian laga yang sangat kompeten? Bahkan, saya tak ragu-ragu menyebutnya sebagai salah satu persembahan terbaik dari Marvel Cinematic Universe. Ada banyak hal yang bisa dicintai dan dikagumi dari film ini; sang pahlawan adalah sosok yang likeable dengan konflik membumi seputar kehilangan dan ekspektasi orang tua, guyonan-guyonan lucu yang dibawakan dengan ketepatan penyampaian yang sempurna, budaya Cina dengan segala mitologinya yang diimplementasikan secara mulus ke dalam guliran pengisahan.
Ditambah villain-nya yang tampak begitu karismatik sekaligus mengintimidasi di waktu bersamaan, serta rentetan sekuens laga mengasyikkan yang kentara mengambil inspirasi dari Wuxia. Jarang-jarang masyarakat maupun kultur Asia memperoleh representasi yang begitu positif di film raksasa Hollywod dengan penggarapan yang ciamik pula. Itulah mengapa hati rasanya berbunga-bunga kala menyaksikan film ini.