
Jika Anda sering membuka media sosial, maka Anda berada dalam bahaya. Sebab saat ini algoritma media sosial bisa mengancam kehidupan kita semua. Sadar tidak sadar media sosial membentuk perilaku kita dengan notifikasinya. Apapun yang muncul sering kali kita anggap penting. Padahal belum tentu, bahkan tidak penting sama sekali. Semua itu akibat ulah algoritma yang memaksa kita untuk membuka lagi dan lagi media sosial. Kalau sudah begini, media sosial sama saja seperti narkoba yang membuat penggunanya kecanduan.
Sedari awal film dokumenter The Social Dilemma langsung membuat suasana mencekam dengan mengutip penulis asal Yunani Sophocles, “Tak ada hal besar yang memasuki kehidupan manusia tanpa kutukan.” Kemudian berlanjut dengan memperlihatkan narasumber yang tampak gelisah, ditambah dengan latar musik yang semakin menguatkan nuansa berbahaya. Adegan pembuka ini menarik perhatian sekaligus membuat penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi. Toh hidup kita baik-baik saja dengan adanya media sosial.
Film dokumenter Netflix ini mengungkapkan bahayanya algoritma media sosial dari sudut pandang para pakar teknologi yang pernah bekerja di Google, Facebook, Twitter, Instagram, Pinterest dan lain-lain. Sutradara Jeff Orlowski (Chasing Ice, Chasing Coral) lebih dulu memperlihatkan dampak buruk media sosial seperti kapitalisme pengawasan, isu kesehatan mental, penyebaran berita palsu dan masih banyak lagi. Dari situlah kita sebagai penonton diajak berpikir ada sesuatu yang tidak beres dari media sosial. Lantas, apa sebenarnya masalah yang terjadi dengan media sosial?
Media sosial yang kita kenal memang memiliki dampak positif yang nyata, misalnya saja mempererat hubungan sesama manusia, mempertemukan keluarga yang terpisah, menemukan donor organ, dan lain sebagainya. Namun dibalik itu semua, media sosial juga mempunyai sisi lain yang berbahaya. Algoritma media sosial membuat penggunanya kecanduan membuka notifikasi. Hal itu bukan tidak disengaja, algoritma memang diciptakan untuk membuat kita tetap menatap layar. Tujuan utamanya agar pengguna media sosial tersebut menjadi sasaran empuk para pengiklan.
Ternyata bukan data pengguna saja yang dimanfaatkan, tetapi pengguna itu sendiri yang dieksploitasi menjadi produk. Kita sebagai pengguna dibentuk sedemikian rupa dengan notifikasi agar perilaku kita tetap menjadi seperti yang diinginkan perusahaan media sosial. Inilah hal penting yang awalnya disadari oleh Tristan Harris, seorang mantan pakar etika Google dan co-founder Center for Humane Technology. Ia sempat mengutarakan pernyataan menarik, bagaimana Anda bangun dari Matrix ketika Anda tidak tahu bahwa Anda berada di Matrix?
Masalahnya adalah ketika kita tidak sadar bahwa ternyata media sosial diam-diam membentuk perilaku kita. Lebih bahaya lagi perusahaan media sosial ternyata menjadikan algoritmanya sebagai model bisnis. The Social Dilemma berusaha menjelaskan ini cukup komprehensif dengan berbagai narasumber dan cerita rekayasa yang semakin menguatkan argumen narasumbernya. Cerita tersebut fokus pada sebuah keluarga yang terpapar media sosial. Juga ada personifikasi media sosial yang semakin memudahkan kita memahami sistem kerja media sosial.
Menarik. Media sosial harusnya bisa membuat hidup terasa lebih hidup karena dapat terhubung dengan siapapun. Tapi yang sering terjadi adalah media sosial membuat manusia tanpa sadar membentuk “ruang sosial sendiri”yang terlihat ramai, tetapi pada kenyatannya sepi.
LikeLike