NO TIME TO DIE dari Cary Joji Fukunaga menyuguhkan perayaan purna tugas Daniel Craig sebagai James Bond dengan hati yang teguh. Tambal sulam elemen klasik Bond dengan berbagai kelebihan Bond modern ini menghadirkan aksi non-stop lengkap dengan sentuhan kemewahan di tiap frame-nya. Bukan sekedar pajangan Easter eggs yang dirangkai jadi imitasi bermodal jutaan dollar, film ini menghadirkan formula terbaik Bond—dari petualangan keliling dunia, pawai gawai yang mutakhir, femme fatale yang susah dilupakan, serta humor yang lebih bijak untuk menggantikan kiasan seksual yang pernah menjadi identitas franchise ini—yang ditampilkan dengan lebih tenang dan dewasa.
Sebuah perpisahan yang cukup mengesankan untuk Bond yang awalnya sering dianggap sebelah mata. Meskipun tak selalu mulus di semua lini, penyutradaraan Fukunaga, polesan Waller-Bridge, serta penampilan ciamik Craig membuat kisah 007 yang satu ini mewah dan susah untuk dilupakan dalam waktu dekat.

Dengan lima film dalam kurun waktu 15 tahun, Daniel Craig telah menunaikan tugasnya sebagai pemeran James Bond terlama. Kualitas film-film 007-nya memang naik turun; hampir setiap film Bond terbaiknya selalu diikuti film yang timpang kualitasnya. Sebut saja Casino Royale yang penerusnya adalah Quantum of Solace, atau Skyfall yang dilanjutkan Spectre. Tapi, Craig terbukti menghadirkan Bond yang unik—lebih beringas dengan guratan muka yang lebih kasar—tanpa harus meninggalkan ciri khas Bond yang sudah ditahbiskan pendahulunya.
Bond 25 alias No Time to Die jelas memiliki tugas yang berat—menghadirkan penutupan yang sempurna untuk Craig. Jalannya nampak akan terjal awalnya setelah ditinggalkan Sam Mendes dan, kemudian, Danny Boyle di pra-produksi. Gairah kembali membuncah ketika kreator True Detective, Cary Joji Fukunaga, mengambil alih kursi sutradara (sekaligus sebagai sutradara Bond pertama dari Amerika). Percayalah, ketika MGM memutuskan untuk menunda rilisnya dikarenakan efek pandemi COVID-19, tak ada rasa ragu sama sekali. Mereka percaya diri akan film ini dan, kini, kepercayaan diri mereka terbayar. Hasilnya adalah sebuah perpisahan yang tak hanya layak, tapi juga megah.
We Have All the Time in the World
Waktu (dan nampaknya MGM serta Eons) berpihak pada No Time to Die. Dengan durasinya yang mencapai 163 menit, Fukunaga—yang juga menulis skenarionya bersama Neal Purvis dan Robert Wade (penulis 007 sedari The World is Not Enough) serta Phoebe Waller-Bridge—punya waktu untuk mengeksplorasi beberapa hal sekaligus, termasuk memulai kisah ini dengan 2 prolog sekaligus.
Prolog pertama memperkenalkan antagonis film kali ini, Lyutsifer Safin (yang nantinya diperankan Rami Malek), yang karakternya acap kali mengingatkan akan Dr. No (dan bukannya karakter yang sama); yang kedua membawa Bond ke Italia bersama Madeleine Swann (Léa Seydoux), yang kini menjadi pasangannya. Di sinilah monolog ‘we have all the time in the world’ dari On Her Majesty’s Secret Service kembali hadir, mengisyaratkan tema dan nuansa yang akan dihadirkan film ini.
No Time to Die sangat bersemangat untuk menghadirkan kombo Bond klasik dan segala hal yang membuat Bond-nya Craig menarik—tema yang lebih gelap dan aksi yang lebih garang. Formulanya standar 007: mulai dari petualangan keliling dunia dengan set mewah, kostum mentereng, dan berbagai gawai mutakhir. Tapi, Fukunaga nampak bersikukuh untuk menghadirkan sisi mewah ini sebagai protokol utamanya. Credo untuk old-and-new Bond ini langsung digeber di prolog keduanya: Bond car klasik, Aston Martin, lengkap dengan arsenalnya serta kejar-kejaran dengan setting eksotis Mediterania, serta adegan aksi yang gegap gempita. Percayalah, prolog ini hadirkan cerminan mood film bahkan sebelum opening scene-nya hinting at plot-nya.

Kisah Klasik untuk Masa Depan
Kaitan dengan film-film klasik 007 belum selesai di situ. Plot No Time to Die seolah disarikan dengan ramuan antara You Only Live Twice, Dr. No, dan On Her Majesty’s Secret Service. Tapi, plot klasik tersebut dijahit dengan cukup mulus dengan kisah pasca-Spectre yang bisa ditarik sampai ke Casino Royale juga.
Bond yang tengah menikmati masa pensiunnya di Jamaika merasa terpanggil untuk beraksi kembali ketika Felix Leiter (Jeffrey Wright) dari CIA melaporkan aktivitas SPECTRE di Kuba. Pada saat bersamaan, agen M16 baru, Nomi (Lashana Lynch), menggantikan posisi Bond sebagai 007 untuk menginfiltrasi aktivitas tersebut. Double-pronged investigation ini nantinya akan mengungkap keberadaan Safin, pemimpin teroris yang berniat menggoncang stabilitas dunia dengan senjata biologis.
Seperti di film-film thriller spionase sejenis, plot No Time to Die kemudian bergerak dengan gegas dari satu set eksotis ke set lainnya, masing-masing dengan spectacle-nya masing-masing. Lewat rentetan adegan aksi yang padat tersebut, masa lalu dan masa depan Bond kembali berbenturan, kini dengan koda yang dingin sekaligus mengharukan.
Padat mungkin tepat untuk mendeskripsikan plotnya. Saking padatnya, tak terasa satu setengah jam filmnya telah berjalan ketika mulai terlihat bahwa plotnya berjalan sekedar maju tanpa penghubung yang benar-benar solid. Sering kali, film ini perlu dialog rumit untuk sekedar memajukan narasinya. Bukannya bermasalah besar, tapi film ini punya durasi yang panjang yang bisa digunakan dengan lebih bijak lagi untuk memajukan (atau bahkan memundurkan plotnya). Untungnya, setiap spectacle demi spectacle-nya koheren dan, yang penting, luar biasa sampai-sampai Mission: Impossible bisa jadi sedang bersenang hati sebentar karena saingan beratnya yang satu ini perlu beberapa saat untuk rebuild lagi.
(Bukan Sekedar) Bond Girl yang Hebat
Di balik pria yang sukses (baca: Bond), selalu ada wanita hebat yang selalu mendukungnya (baca: Bond girls). Kredo ini masih berlaku; tapi, skemanya agak berbeda kali ini. Ada satu pembeda yang membuat film Bond kali ini lebih dewasa.
Pembedanya adalah Waller-Bridge. Tugasnya adalah memoles dialog dan mengawasi pengembangan karakter; tapi, ia memiliki tujuan yang lebih besar. Dalam sebuah wawancara dengan The Independent, ia pernah menyampaikan bahwa franchise ini harus berubah dengan “lebih memperlakukan karakter-karakter perempuannya dengan layak.” Tidak muluk-muluk, “layak” adalah goal-nya untuk saat ini dan kreator Fleabag ini memenuhi janjinya.

Selera humor Bond sedikit naik kelas dengan polesannya. Objektifikasi perempuan yang sudah jadi barang biasa dalam franchise ini dipangkas, gantinya adalah karakter yang kuat. Bond girls bukan lagi mangsa atau bukti maskulinitas Bond; pun, Bond tak harus terlihat emasculated tanpanya—after all, sex appeal-nya masih ada. Swann tak perlu menjadi damsel in distress, Nomi bahkan menjadi Saingan langsung Bond, serta Paloma (Ana de Armas) tampil independen sembari mencuri perhatian penonton. Bond? Tak ada alasan baginya untuk tidak menghargai mereka.
Hal ini jelas bertolak belakang dengan cara bertutur Bond di masa lalu yang cenderung menjadikan karakter perempuannya sebagai obyek bagi karakter-karakter prianya. Bukan sekedar memastikan nama-nama ofensif seperti Pussy Galore tak akan muncul lagi, tapi, franchise ini telah naik kelas lebih jauh dalam treating women. Perjalanannya masih jauh, tapi langkah kali ini cukup tepat.
Never Say No to a Bond Show
Cukup mengecewakan memang ketika Malek muncul sebagai dalang aksi terorisme dalam No Time to Die. Pertama, karakternya ternyata bukan Dr. No seperti yang telah dirumorkan. Kedua, Malek terasa seperti cuma menampilkan kulit dari penampilan terbaiknya (yang pasti bukan di Bohemian Rhapsody). Tapi, cara presentasi Fukunaga membuat kekecewaan ini cukup termitigasi.
Senada dengan tema besarnya dalam menghadirkan groove klasik 007, antagonisnya pun ditulis dengan formula lama—komikal tapi tanpa ampun. Dari nama, penampilan, hingga aksennya, Malek berhasil menghadirkan Safin secara face value; tapi, ia tak pernah benar-benar menguarkan aura kelam karakternya dengan lebih meyakinkan lagi. Yang jelas, performanya terasa sangat timpang jika dibandingkan antagonis modern Bond lainnya. Mengekor Mads Mikkelsen, Javier Bardem, dan Christoph Waltz (yang justru baru terlihat lebih memukau kali ini), memang bukan hal yang mudah untuk aktor muda sepertinya; namun, statusnya sebagai pemenang Oscar seharusnya bisa berkata lebih.
Safin bukan karakter yang sederhana. Ia menganggap dirinya sebagai pahlawan seperti Bond, bahkan lebih. Beberapa kali, ia mengutarakan Bahwa ia dan Bond sama saja secara karakter dan pencapaian. Bisa jadi, karena poin inilah karakternya tak pernah bisa lebih hidup dari kata-katanya. Pada akhirnya, film ini adalah perpisahan untuk Craig sebagai Bond. Karakternya harus terlihat besar. Bagaimana caranya membuat Bond terasa lebih besar? Membuat antagonisnya cukup besar namun tidak lebih besar dari karakter utamanya.
Coda
Lalu bagaimana saga ini berakhir? Sepantas-pantasnya dan selayak-layaknya. Kalau mau, Fukunaga bisa saja membuat finale yang lebih getir dengan after-taste yang lebih pahit. Bisa jadi ending seperti itu terasa lebih sejalan dengan garis besar kisah Bond di era Craig—yang selalui dihantui duka dan kehilangan (termasuk kehilangan sesosok Vesper Lynd dari Casino Royale alias sang alfa dan omega, yang jadi pembuka kisah penutup ini). Namun, yang dilakukan Fukunaga lebih aman dan respectful. Cukup untuk kado purna tugas Craig tanpa harus membebani penerusnya kelak. No Time to Die adalah klimaks yang memuaskan dan dibutuhkan—meskipun tak selalu sesuai keinginan. Sebuah titik untuk kisah panjang yang sama memuaskannya.
Review ini ditulis oleh Paskalis Damar yang sering menulis di sinekdoks.com dan @sinekdoks di Twitter.