Review The Power of the Dog, Kecemburuan, Rahasia, dan Cengkeraman Sang Anjing

THE POWER OF THE DOG, yang mulai tayang di Netflix awal Desember ini, adalah film panjang kedelapan Jane Campion dalam 30 tahun karirnya yang dipenuhi palet kisah yang berlainan namun masih dalam jalinan emosi yang serupa. Menampilkan Kirsten Dunst dan Kodi Smit-McPhee sebagai ibu dan anak di tengah panasnya hubungan kakak beradik antara Benedict Cumberbatch dan Jesse Plemons dalam adaptasi novel berjudul sama dari Thomas Savage. Elegi Western ini menggali sengitnya persaingan antar saudara kandung — rasa cemburu yang membara dan perasaan-perasaan terpendam yang nyaris tak terutarakan. Dalam kisah-kisah tentang koboi dan egonya, Campion menghadirkan seni kelembutan bertutur dan menguatkan statusnya sebagai pencerita ulung yang mengulik rapuhnya maskulinitas. Sekalipun Cumberbatch menghadirkan salah satu penampilan terbaik dalam karirnya, keulungan penceritaan Campion sama sekali tak terpengaruhi, bahkan makin teramplifikasi.

Benedict Cumberbatch dan Jesse Plemons sebagai Burbank Bersaudara

Jane Campion mungkin bukan sutradara yang prolific, yang karya barunya keluar setiap beberapa tahun sekali. Karya terakhir beliau sebelum The Power of the Dog adalah Bright Star; itu pun rilis tahun 2009. Sutradara New Zealand ini pun tak pernah terpaku pada satu pakem atau tema yang sama dalam tiap karyanya. Namun, ada hal yang selalu hidup dalam sebagian besar kisah-kisahnya (terutama dalam film-film terbaiknya seperti The Piano atau The Portrait of A Lady) yang selalu terasa puitis — pertempuran batin, konflik internal, pergulatan melawan setan di relung jiwa karakter-karakternya.

Konflik dalam diri karakter-karakter tersebut bagaikan kanker, tak kasat mata namun bisa dilihat dari proyeksinya dalam tindak-tanduk mereka — bagaimana mereka berinteraksi dengan karakter lain atau bagaimana mereka bersikap pada diri mereka sendiri. The Power of the Dog punya elemen tersebut dalam narasinya, namun tak langsung kelihatan di awal. Karakter-karakternya hidup dalam rahasia dan ketakutan yang tak pernah terlihat sampai diungkapkan pelan-pelan, bagaikan mengungkap teka-teka silang, tapi dengan sangat subtil.

Kisahnya ada di tengah ranch makmur di akhir era Western yang dikelola Burbank bersaudara — kakak beradik, Phil (Benedict Cumberbatch) dan George (Jesse Plemons). Sang adik, George, mengurus pembukuan dan hal-hal manajerial lainnya; sementara, Phil bekerja di lapangan, berkumpul dengan para koboi macho dan memanfaatkan ketangkasannya seperti ajaran mentor mereka, Bronco Henry. Aroma ketegangan antar saudara ini sudah tercium di udara sejak awal; ada kecemburuan dan ada keengganan untuk mengakui pencapaian satu sama lain. Namun, bau-bau persaingan baru menguar dengan jelas ketika George menikahi Rose (Kirsten Dunst), seorang janda berputra satu, Peter (Kodi Smit-McPhee), yang agak cadel dan feminim.

Kirsten Dunst sebagai Rose Gordon-Burbank

Bagi Phil, pernikahan George ini bagaikan sebuah pengkhianatan. Bukan hanya ia menganggap anak dan ibu ini sebagai beban bagi ranch mereka, kehadiran dua sosok feminim di tengah gelora machismo yang ia bangun seolah membuatnya terganggu secara mental. Hubungan kakak beradik ini digambarkan dengan tender sekalipun penuh toksin berlandaskan rasa memiliki. Kehadiran Rose dan Peter adalah ancaman; karena dengan demikian, George bukan lagi milik Phil seorang. Polanya selalu sama: Phil dan obsesinya untuk mengusik balik orang-orang yang berusaha mengambil adiknya darinya. Ada benang merah yang hilang dari terusiknya Phil dan, berkat penampilan cemerlang Cumberbatch, penonton pun dibuat ikut merasakannya.

Phil digambarkan sebagai wajah utama kisah ini. Sosoknya dingin dan tak jarang bengis, meskipun mungkin itu adalah proyeksi internalnya untuk menunjukkan bahwa ia punya kuasa. Ia merasa punya kuasa atas adiknya sendiri, termasuk ke seluruh keluarga barunya. Karena itu ia merasa tangguh ketika ia menjegal Rose ke dalam jurang alkohol atau ketika ia mengolok-olok kemayunya Peter. Pada akhirnya, The Power of the Dog adalah kisah tentang kuasa — tentang cengkeraman anjing, secara kiasan. Kuasa juga yang pada akhirnya mengungkap sisi lain kisah ini, yang baru akan tersingkap ketika cengkeraman sang anjing dilepas pelan-pelan.

Ada rahasia — kerinduan yang tak pernah dapat kesempatan untuk dijelaskan. Campion tak buru-buru untuk mengungkap kerapuhan yang selalu terindikasikan namun tak terucapkan ini. Ia memberi waktu bagi konflik-konflik internal karakternya untuk saling bersinggungan meskipun tak selalu hadir dengan pertikaian. Plemons perlahan meredup dari cerita dan kekosongan tersebut diambil alih Smit-McPhee yang karakternya akan mengungkap rahasia-rahasia terdalam kisah ini. Dinamika tokohnya, Peter, dengan Phil adalah kunci untuk mengangkat cengkeraman sang anjing.

Kodi Smit McPhee merangkai bunga palsu

Campion dengan elegan menghadirkan seni bertutur dengan lembut, tanpa harus meledak-ledak sekalipun penuh gesekan. Sekalipun penuh bintang di jajaran cast-nya, sang sutradara yang juga menulis skenarionya memastikan bahwa ini adalah opera dan tak perlu ada pertunjukan solo di dalamnya. Cumberbatch adalah wajah dari kisah ini, tapi ia tidak selalu menjadi suaranya. Suara kisah ini adalah keulungan penceritaan sang sutradara yang justru makin teramplifikasi dengan cemerlangnya para aktor yang terlibat.

Finale-nya adalah sebuah elegi yang senyap namun bukan berarti tak menusuk. The Power of the Dog menunjukkan peperangan melawan anjing-anjing di dalam jiwa karakternya tak harus terucap dan terlihat nyata, tapi efeknya selalu punya andil dalam narasinya. Campion sekali lagi menghadirkan karya terbaik dalam karirnya lewat kisah-kisah rapuhnya maskulinitas yang dipenuhi rahasia, kecemburuan, dan emosi-emosi tak tersampaikan.


Ditulis oleh Paskalis Damar yang sering menulis di sinekdoks.com dan @sinekdoks di Twitter.

Leave a comment