Bulan November tahun 2021 ini bertepatan dengan dua puluh tahun film Harry Potter pertama (Harry Potter and the Sorcerer’s Stone) ditayangkan. Anniversary yang memang pantas untuk dirayakan, karena Harry Potter dan dunia sihirnya begitu besar pengaruhnya dalam budaya pop. Pengaruh Harry Potter layak disejajarkan dengan Star Wars. Buku-bukunya sendiri begitu sukses sehingga adaptasi ke layar lebar sudah tak terhindarkan lagi. Dan film Harry Potter langsung mewujudkan imajinasi di dunia ajaib penuh karakter-karakter tak terlupakan itu. Harry Potter juga telah meluncurkan karir akting ketiga pemain utamanya. Harry, Ron, Hermione. Daniel Radcliffe, Rupert Grint, Emma Watson. Kita udah kayak tumbuh besar bersama mereka. Bersama petualangan seru dan hangat karakter-karakter ini. Maka, sembari menunggu kejutan resmi dari J.K. Rowling dan Warner Bros. yang udah nyiapin Harry Potter 20th Anniversary: Return to Hogwarts untuk tayang awal tahun mendatang, yuk kita nostalgia duluan. Kita obrolin film-film Harry Potter sambil menilainya sesuai dengan rapor di sekolah sihir yang setelah selama ini masih kita tunggu suratnya nyampe ke rumah: Hogwarts!

Di Hogwarts nilai rapornya berbeda dengan di sekolah kita. Mereka gak pake angka. Melainkan pake huruf, yang artinya pun berbeda dengan nilai mutu di kampus. Seperti yang disebutkan di buku kelima, ujian di Hogwarts dinilai lewat enam huruf. Untuk standar lulus, nilai tertinggi adalah O (Outstanding – luar biasa), lalu di bawahnya E (Exceed Expectations – di luar perkiraan), dan A (Acceptable – dapat diterima). Tiga nilai lagi adalah nilai merah alias nilai gak lulus. Ada P (Poor – rendah), D (Dreadful – mengerikan atau parah), dan terakhir adalah T (Troll – bego gak ada obat).
Selama 20 tahun, tujuh buku Harry Potter telah difilmkan ke delapan seri film. Masing-masing film itu masih membekas sekali untukku. Aku bahkan masih ingat perjuangannya menontonnya. Mulai dari nabung uang jajan untuk beli DVD film yang pertama (karena di-hometown ku gak ada bioskop), sampai ngantri dan rela duduk di paling depan nontonin film terakhirnya. Saat nonton ulang untuk persiapan nulis artikel ini pun, ke delapan film tersebut masih terasa ajaib. Walaupun beberapa perbedaan dengan buku, subplot atau karakter yang dihilangkan atau diubah, makin terasa, dan bahkan beberapa efek mulai tampak outdated.
Jadi mari kita kunjungi sekali lagi film-film Harry Potter sambil siap memberikan nilai, dan setelahnya aku akan mengurutkan film-film itu dari nilai terendah hingga ke nilai tertinggi!

1. Harry Potter and the Sorcerer’s Stone (2001) — Exceed Expectations

Inilah film yang mengawali semuanya. Sutradara Chris Columbus paham bahwa tugasnya di sini terutama adalah mengeset fondasi yang kokoh dan seajaib dunia ceritanya sendiri. Lihat saja apa yang ia berikan kepada kita, dan kepada franchise ini ke depannya.
Cast yang perfect. Trio Daniel – Rupert – Emma yang ia dapat dari audisi bukan saja adorable, tapi juga tampak seperti karakter Harry Potter – Ron Weasley – Hermione Granger itu sendiri. Karakter pendukung juga tak kalah perfect-nya. Dumbledore yang beneran kayak guru besar tapi ramah dan nyentrik, Snape yang beneran kayak guru galak yang ditakuti anak-anak, Hagrid yang aku waktu kecil sampai bertanya-tanya dia raksasa beneran atau tidak, Draco yang tipikal anak orang kaya yang sok. Aku gak bisa bayangin kalo bukan mereka yang main (Dumbledore yang actually diganti pemeran aja, sampe sekarang tidak pernah terasa pas bagiku).
Lalu, dunianya. Sensasi masuk ke dunia sihir itu benar-benar terasa. Bukan hanya Harry yang tercengang-cengang, kita juga. Columbus berhasil membangun dunia sihir, membangun Hogwarts tidak sekadar seperti panggung. Kita penasaran apa lagi keajaiban di dunia tersebut. Beberapa efek kini memang sudah terlihat green screen banget, tapi ketika pakai efek praktikal seperti kostum, film ini masih tampak meyakinkan. Dan juga tentu saja; musik. John Williams sukses bikin musik yang ikonik untuk franchise ini!
Secara skenario, memang tidak banyak yang dikembangkan, selain discovery demi discovery. Film ini paling terasa petualangannya, tapi juga tidak terlalu banyak dimensi emosional yang dimainkan. Dan itu wajar, karena ini buku yang paling ‘muda’ untuk penonton yang masih muda, dan yang memang difungsikan sebagai set up keseluruhan dunia dan mitologi Harry Potter. Makanya, aku berikan nilai E untuk film ini. Columbus membuat petualangan masuk ke dunia sihir itu jadi lebih seru dengan membuatnya ‘jadi semirip itu’! Kita gak akan merayakan 20 tahun film ini jika Columbus mengerjakan ini sesuai dengan ekspektasi semua orang.
2. Harry Potter and the Chamber of Secret (2002) — Acceptable

Di film Harry Potter terakhir yang ia garap ini, Columbus tak lagi fokus kepada set up. Dia kini punya lebih banyak ruang untuk mengembangkan karakter-karakter. Tugas utamanya sekarang adalah menyuntikkan elemen yang sedikit lebih kelam lagi ke dalam petualangan fantasi anak-anak ini. Dan jadilah Harry Potter kedua lebih sebagai cerita misteri.
Urusan narasi, film ini sebenarnya memang lebih menarik daripada yang pertama. Potter sekarang mengetahui satu hal lagi tentang kekuatan di dalam dirinya, kini dia benar-benar harus menghadapi status ‘terkenal’ yang semakin melekat padanya. Sementara juga film mulai menanamkan benih-benih asmara antara karakter-karakter ciliknya. I mean, tengok betapa cute-nya adegan saat Ginny kecil nyadar ada Harry Potter di rumahnya.
Tapi selain petualangan dan misteri yang mulai menjurus ke lebih kelam, efek komputer, dan praktikal yang juga meningkat karena tone yang juga sedikit lebih kelam, tidak banyak pencapaian ataupun kejutan yang dihadirkan oleh film ini. Chamber of Secret adalah adaptasi yang mumpuni dari buku kedua Harry Potter, kita tahu apa yang bakal kita dapat dari sini, dan film memberikannya. Gak kurang, gak lebih.
3. Harry Potter and the Prisoner of Azkaban (2004) — Outstanding

Harry sudah remaja sekarang, dan film ini pun sudah siap untuk pergantian mood. Alfonso Cuaron (ya, sutradara yang beberapa tahun kemudian membuat film Roma itu!) menggantikan posisi Columbus. Dan Cuaron gak tanggung-tanggung merombak dunia cerah yang kita kenal di dua film sebelumnya.
Harry Potter ketiga ini dieksekusi dengan sangat intens. Cahaya, kamera, bahkan editingnya benar-benar membuat film ini tampak kelam dan penuh energi. Kamera Cuaron punya banyak layer, dia bahkan sanggup menangani adegan Quidditch di tengah hujan lebat. Semua energi dan tone dark itu sejalan dengan karakternya yang mulai meledak-ledak. Harry kini enggak diam saja saat di-bully. Inilah tema yang melandasi film. Bagaimana seorang remaja seperti Harry menghadapi tekanan yang menghantuinya. Kita diperkenalkan kepada Dementor, yang memangsa ketakutan. Kita diperkenalkan kepada cerita yang memuat elemen balas dendam dan pengkhianatan. Bahkan Hermione aja di sini nonjok Malfoy, udah emosi banget!
Beberapa adegan malah tampak seperti film horor, untuk menyeimbangkannya, Cuaron membuat film lebih hidup dengan detil-detil kecil pada adegan. Yang menambah banyak sekali kepada karakterisasi dan perkembangan karakter untuk ke depannya. Perhatikan gimana Ron dan Hermione yang berantem tentang kucing dan tikus, berantemnya mereka itu udah kayak berantemnya pasangan.
Maka film ini aku nilai sangat luar biasa. O. Tidak banyak aksi, tapi film ini menggelora lewat teknis-teknis dan dinamisnya Cuaron merekam adegan. Aku bahkan tidak terganggu sama adegan ‘time travel’ yang jadi aksi final. Adegan tersebut justru jadi lapangan bermain yang utuh untuk kemampuan film ini dalam menampilkan lapisan.
4. Harry Potter and the Goblet of Fire (2005) — Troll

Goblet of Fire adalah buku Harry Potter yang paling tebal. Punya banyak subplot di luar kebangkitan Voldemort dan turnamen Triwizard. Dan sutradara Mike Newell, jangankan mengangkat subplot untuk menghiasi cerita, dia bahkan gagal menggarap dua plot inti cerita ini.
Kebangkitan Voldemort di kuburan, diiringi kematian satu siswa Hogwarts; kejadian yang jelas-jelas horor, tidak tampak mengerikan ataupun intens di film ini. Karena saat kita sampai di titik itu, film terasa sudah sangat lelah. Ada begitu banyak yang berusaha dimasukakalkan oleh film setelah menghapus begitu banyak, sehingga rasa dan feeling cerita tidak lagi sampai. Turnamen Triwizard juga gak pernah terasa seru atau menantang Harry yang jadi peserta di luar kehendaknya.
Seperti adegan di Yule Ball, film ini tampak canggung. Dia tampak cuma ingin cerita beres. Komedinya juga aneh. Aku gak tahu kenapa film memutuskan untuk membuat semua siswa cowok di Hogwarts punya potongan rambut gondrong yang sama. Cara yang janggal untuk menunjukkan mereka udah di fase dewasa. Tapi dari semuanya, yang paling ofensif dari film ini tentu saja adalah adegan Dumbledore menanyain Harry ‘dengan tenang’ kenapa namanya bisa ada di dalam piala. Adegan yang jadi meme dan paling banyak diejek fans di mana-mana.
5. Harry Potter and the Order of the Phoenix (2007) — Acceptable

Buku kelima adalah buku Harry Potter favoritku. Antara itu dan film keempat yang mengecewakan, aku tadinya cemas juga. Takut film kelima ini sama jeleknya. Karena buku kelima juga tebel dan memuat banyak kejadian.
Beruntung sutradara sudah diganti, dan kali ini diduduki oleh David Yates. Yang dilakukan Yates memang gak sebrilian Cuaron, tapi dia membuktikan dia bisa memenuhi apa-apa yang diminta oleh Harry Potter. Jadi dialah yang dipilih untuk jadi sutradara hingga seri ini berakhir. Yates, di film kelima ini, berhasil mengeluarkan kesan fun dari cerita yang mulai ‘berat’. Cerita film ini kayak waktu pemerintah kita gak percaya Corona sehingga lantas mereka banyak membuat keputusan bego. Di film ini, Kementrian gak percaya Voldemort telah bangkit, dan mereka jadi malah menganggap Dumbledore sebagai semacam mau kudeta, dan Hogwarts jadi markas pasukannya.
Keseimbangan antara narasi dengan fun yang berasal dari karakter-karakter baru (seperti Umbridge yang we all love to hate) jadi kunci keasikan buku kelima, dan lumayan berhasil disampaikan oleh Yates. Banyak sekali yang bisa dinikmati, dan Yates kurang lebih tahulah mana yang perlu ditampilkan. Harry Potter ngajar Laskar Dumbledore, Kembar Weasley cabut dari sekolah, flashback ke masa sekolah ayah dan ibu Harry. Hingga ke duel Dumbledore lawan Voldemort, yang seru dan benar-benar nge-set up seperti apa duel penyihir sakti itu sesungguhnya. Walau kurang lama sih. Adegan Potter dkk rebutan ramalan di Kementrian aja terasa singkat sekali.
Oh ya, Evanna Lynch! Amazing banget sebagai Luna!
6. Harry Potter and the Half-Blood Prince (2009) — Poor

Memang gak setebal 4 atau 5, tapi buku keenam ini sepertinya memang buku yang susah untuk diadaptasi ke dalam film. Karena materi ceritanya. Berisi perjalanan Dumbledore dan Harry menyelam masuk ke berbagai ingatan karakter lain, demi mempelajari karakter Voldemort. Ini materi yang banyak eksposisi dan minim aksi. Belum lagi soal Harry yang mendadak jadi jagoan di kelas ramuan karena dia mengikuti instruksi yang ada pada buku milik Pangeran Berdarah-Campuran; dia enggak melawan naga, enggak melakukan sihir… Enggak banyak yang bisa dilakukan Yates untuk membuat cerita ini sebagai pengalaman sinematik. Adegan-adegan penting tentang masa lalu Voldemort malah jadi tidak ada sama sekali.
Sehingga Yates memang berusaha ngasih gambar-gambar yang keren. Sembari berusaha nge-tackle tone cerita yang bagai hening sebelum badai. Karena cerita ini memang difungsikan sebagai fase tenang dulu sebelum petir menyambar menara Hogwarts. Film ini adalah turning point untuk cerita Harry Potter yang sudah full masuk ke aspek narasi yang kelam.
Yates enggak berhasil mencapai tone yang seimbang. Dia berusaha membangun twist di akhir yang tragis, yang cukup berhasil. Namun ketika berusaha menyampaikan elemen yang lebih ringan, film malah terasa juggling antara komedi dengan dramatis. Satu sih yang paling bikin kecewa: Gak ada adegan pemakaman Dumbledore.
7. Harry Potter and the Deathly Hallows: Part 1 (2010) — Dreadful

Ini pada dasarnya adalah satu film yang dibagi dua, jadi wajar saja jika dia yang parah di antara yang lain. Film yang berisi set up untuk akhir, tapi sama sekali enggak ada pay off karena akhirannya ada di film berikutnya!
Film ini seharusnya masih bisa bekerja, jika tidak dipotong begitu saja di pertengahan buku. Maksudku, jika memang mau membagi dua, mestinya ada adaptasi besar-besaran yang dilakukan. Supaya film ini masih tetap punya awal-tengah-akhir, aku lebih respek kalo bagian pertama ini dibuat gak benar-benar ngikutin buku. Kayak, mungkin diambil dari sudut pandang karakter lain, atau hanya menampilkan yang intinya saja. Karena cerita bagian pertama ini kan lebih fokus kepada trio kesayangan kita kini ada luar sana, mencari horcrux tanpa bantuan. Mereka juga harus berhadapan dengan keadaan emosional di antara mereka bertiga. Kalo film fokus di sana saja, kurasa bagian satu ini bisa bekerja lebih baik.
Tapi karena dibagi persis di tengah-tengah buku, ada tone yang gak terjaga ritmenya. Aku masih terbagi dua soal adegan Harry dansa ama Hermione. Adegannya memang sweet, seolah itu adalah hal termanis terakhir yang mereka temui, tapinya tetap terasa seperti adegan penambal yang ada di sana karena film gak mau jadi terlalu depressing.
8. Harry Potter and the Deathly Hallows: Part 2 (2011) — Outstanding

Sedikitnya ada tiga alasan kenapa film penutup Harry Potter ini begitu luar biasa.
Pertama, bagian Battle of Hogwarts. Setelah sedikit set up di awal, film ini langsung tancap gas. Dan semua pay off, semua yang sudah terbangun, semua yang sudah kita tunggu-tunggu, tergambar dengan superseru sepanjang sekuen pertempuran itu. Begitu banyak momen-momen karakter. Duel dan kekacauan di Hogwarts yang intens. Layar yang penuh kedalaman karena di sana-sini orang berduel. Yates pun sekalian melakukan adegan-adegan itu dengan benar-benar membuat kita circled back ke masa-masa Harry Potter terdahulu. Voldemort dan pasukannya pun benar-benar terlihat mengancam. Bahkan ketika sudah tahu bakal ada yang mati, kita tetap merasakan stake dan dramanya.
Yang membawaku ke poin kedua, bagian kematian Snape. Dihandle dengan sangat respek. Walaupun berujung ke eksposisi flashback, tapi penempatannya dalam naskah sangat tepat. Film ini walaupun tadinya adalah bagian akhir dari film yang dipotong dua, tapi jadi punya momen ‘hening’, punya sekuen ‘romansa’ yang lebih natural dibandingkan dengan film Part 1.
Ketiga, akting Helena Bonham Carter, ketika dia meranin Hermione yang nyamar jadi Bellatrix. Sungguh penampilan akting dua-lapis yang menakjubkan!
Kedelapan film sudah terbahas. Berikut rekapan nilai rapor film Harry Potter, disusun dari yang worst ke yang the best:
Gak lulus:
- Goblet of Fire (T)
- Deathly Hallows Part 1 (D)
- Half Blood Prince (P)
Lulus:
- Order of Phoenix (A)
- Chamber of Secret (A)
- Sorcerer’s Stone (E)
- Deathly Hallows Part 2 (O)
- Prisoner of Azkaban (O)
Film Harry Potter kunyatakan lulus dengan nilai 5 OWL, horeee! (jangan tanya nilai untuk film-film Fantastic Beast!)
Ditulis oleh Arya Pratama Putra dari mydirtsheet.com
Memang film ke 7 dan ke 8 bertolak belakang ya. Padahal buatnya back to back, dari buku yang sama pula. Yang ke 7 rasanya terburu2 banget, 75% mungkin bukunya dimasukin dalam 2jam. Semua jadi serba cepat dan ga enak dilihat. Tapi akibatnya karena tinggal 25% film ke 8 jadi seru karena adegan perangnya bisa panjang. Terasa gelap banget dibanding film2 sebelumnya karena perangnya terlihat serius dan banyak yang mati kayak di buku. Cuma 2 film ini sama sekali ga ada cerita masa lalu Dumbledore yang jadi inti dari buku ketujuhnya. Mungkin bisa dibuat film sendiri itu kisah Dumbledore. Wah jangan2 masuk Fantastic Beast.
LikeLike
Oh iya bener, cerita Dumbledore gak diceritain juga ya.. Wah kalo udah di Fantastic Beast udah kacau palingan, ada sodara rahasianya juga kan ternyata. Makin liar wkwkwk.. Yang tadinya cerita Newt Scamander jadi malah nyeritain Grindelwald, dan mau Dumbledore pula. Di film keduanya aja si Newt udah jadi kayak tempelan doang xD
LikeLike