Sutradara Jason Reitman mengambil alih kendali waralaba Ghostbusters ayahnya, Ivan, dan hasilnya adalah sebuah mixed feeling. Di satu sisi, Ghostbusters: Afterlife adalah varian baru yang lebih punya semangat bersama segudang referensi dari Ghostbusters asli ketimbang versi reboot 2016-nya yang salah arah. Di sisi lain, Ghostbusters: Afterlife tidak lagi selucu dan semenarik pendahulunya karena pergeseran sub-genre yang lebih family oriented dengan bintang-bintangnya yang jauh lebih muda yang sepertinya dipersiapkan untuk masa depan franchise ini.

Mengambil latar waktu 32 tahun setelah Ghostbusters II (1989), Ghostbusters: Afterlife (selanjutnya kita menyebutnya sebagai Afterlife saja) bertindak sebagai sekuel sekaligus reboot halus dari franchise horor komedi legendaris dari era 80-an dan ia secara tidak langsung juga ‘meniadakan’ versi rombakkan nyeleh (tapi sangat menghibur, setidaknya buat saya) dari Paul Feig 2016 silam yang cukup kontroversial (beberapa menyebutnya ‘lancang’) karena mengganti seluruh geng pemburu hantunya dengan para komedian perempuan.
Afterlife dipegang langsung oleh Jason Reitman (Juno (2007), Up in the Air (2009), Young Adult (2011) yang tidak lain tidak bukan juga putra dari Ivan Reitman, sutradara dari dua seri awal Ghostbuster. Menarik memang melihat bagaimana Jason Reitman bisa meneruskan tongkat estafet dari sang ayah dalam usahanya untuk mempertahankan pesona wara laba horor klasik populer satu ini yang sudah menjadi bagian dari kultur pop dunia, dan juga yang lebih penting adalah bagaimana memperkenalkannya kepada penonton baru yang sama sekali belum mengenal Ghostbusters sebelumnya, dan itu jelas bukan pekerjaan mudah untuk bisa memuaskan dua sisi penontonnya sekaligus.
Di Afterlife Reitman melakukan apa yang disebut sentimental nostalgia. Memulainya dengan membawa narasi sambungan langsung dari sekuel Ghostbusters tiga dekade silam ke ‘jaman now’ dengan memasang dua bintang muda berbakat Mckenna Grace dan Finn Wolfhard sebagai Pheobe dan Trevor, pasangan adik-kakak yang juga cucu dari salah satu anggota awal Ghostbusters, Dr. Egon Spengler. Keduanya baru saja pindah ke rumah sang kakek di kota kecil Summerville, Oklahoma, bersama ibunya, Callie yang diperankan Carrie Coon demi memulai kehidupan baru.
Afterlife sedari awal sudah seperti menetapkan bahwa ia akan menggeser sedikit sub-genrenya dari komedi yang lebih dewasa seperti yang dihadirkan di dua film orisinalnya ke ranah family oriented yang lebih ‘jinak’, terlihat dengan pemilihan casting utamanya dan narasinya yang terlihat seperti irisan dari Goosebumps-nya R.L Stine. Hasilnya? Bisa dibilang ini adalah sebuah mixed feeling.

Ya, jujur, saya cukup menyukai bagaimana usaha Reitman menyambung benang merahnya yang sempat terputus selama 32 tahun sekaligus menjadi sebuah penghormatan besar dan cinta buat almarhum Harold Ramis, memberi karakternya keturunan yang meneruskan legacy Ghosbusters dengan tentu saja, banyak gimmick nostalgia dari dua film pertamanya.
Elemen nostalgia benar-benar coba dieksploitasi Reitman di Afterlife sebagai sebuah fans service dengan banyak referensi dari Ghostbusters asli termasuk juga film tahun 80-an kesukaan Reitman dan ya, harus diakui itu berhasil, paling tidak buat penonton veterannya meski di sisi lain Reitman kurang bisa memanfaatkannya dengan cara yang semestinya bisa lebih berkelas lagi. Lihat saja semua gear dari seragam kerja, ghost trap, PKE meter, spirit proton gun, hantu-hantu titular macam Stay Puft, Marshmallow Man, dan Slimer bahkan sampai 1959 Cadillac modifikasi, The Ecto-1, semua ada di sini, semua masih sama, tidak ada yang berubah. Belum lagi saya menyebut lagu legendaris dari Ray Parker Jr dan tentu saja kejutan yang mungkin sudah bisa ditebak.

Ya, Afterlife sekali lagi cukup efektif sebagai sebuah homage dari Reitman untuk film ayahnya. Tapi sayangnya tanpa embel-embel ‘nostalgia’ Afterlife sebenarnya tidak benar-benar lebih baik dari versi Paul Feig yang meski kacau tapi sangat menghibur dengan ensemble cast-nya itu. Kelemahan fatalnya adalah membuatnya menjadi film keluarga yang kelewat enteng ketimbang menggebernya dengan kecepatan penuh sebagai horor komedi aksi seperti semangat pendahulunya.
Pergerakan pelan di separuh awal film dengan sub plot tak menarik tak membuatnya lebih baik, mungkin kita akan bersimpati pada keluarga Spengler dan penghormatan buat Ramis yang tetap hidup di sini. Tidak ada cast spesialis komedi (kecuali Paul Rudd dalam wujud guru seismolog yang nyentrik) yang mampu mendominasi dengan ledakan humor besar dari para alumni Saturday Night Live. Sisanya Afterlife hanya mampu menebar senyum manis dari kelakuan kepo si imut Mckenna Grace yang selalu menggemaskan sejak tampil mengesankan di Gifted atau sedikit keseruan aksi menangkap Slimer dengan The Ecto-1 di Summerville yang kecil dengan balutan CGI mumpuni.
Ditulis oleh Hary Susanto a.k.a Hafilova
One thought on “Review Ghostbusters: Afterlife, Penghormatan dan Nostalgia untuk Para Pemburu Hantu Terbaik Amerika”