Merayakan Ketidakbecusan Bersama Protagonis di Film Thriller Jeremy Saulnier

Jeremy Saulnier mungkin bukan nama yang populer di skena perfilman horror. Namanya mungkin tak semudah diingat layaknya sutradara horror/thriller modern seperti James Wan, Ari Aster, atau Robert Eggers. Namun, karya-karyanya selalu unik karena elemen horror yang sering dicampur dengan komedi gelap gulita yang tak segan untuk bermandi darah. Sampai saat ini, Saulnier telah menelorkan empat film — Murder Party (2007), Blue Ruin (2013), Green Room (2015), dan Hold the Dark (2018). Dalam setiap filmnya, ia pasti mengajak sahabatnya dari kecil Macon Blair, yang nantinya membuat film sendiri, I Don’t Feel at Home in This World Anymore (2017), yang temanya kurang lebih senada dengan film Saulnier. Pertanyaannya adalah: apa sih yang unik dari film-film horror/thriller Jeremy Saulnier? Dan, kenapa jawabannya adalah ketidakbecusan karakternya?

Chris Sharp dalam Murder Party (2007).

Sepertinya semua setuju bahwa hal paling menyebalkan dalam film horor atau thriller adalah ketololan karakter-karakternya ketika sedang dalam bahaya. Dikejar hantu, tokohnya justru berpencar. Diburu pembunuh berdarah dingin di ruangan tertutup, tokohnya justru naik ke lantai atas. Dalihnya selalu tekanan dalam krisis, yang konon membuat orang tak bisa berpikir. Masalahnya, yang sering dilakukan justru bertentangan dengan simple logic serta survival instinct.

Survival instinct ini nantinya juga menghadirkan hal menyebalkan lain. Dalam beberapa film horor/thriller, semangat juang ini sering dipakai berlebihan dan malah jadi bumerang. Tiba-tiba bisa memakai pistol (biasanya diberi backstory darurat, misalnya dulu sering berburu, dll); tiba-tiba bisa menjahit luka tusuk; tiba-tiba bisa loncat dari satu gedung ke gedung lain. Semua itu atas nama artistic license.

Keresahan ini nampaknya juga dirasakan oleh filmmaker, Jeremy Saulnier. Dalam tiga film panjang pertamanya — Murder Party (2017), Blue Ruin (2013), dan Green Room (2015) — serempak menyuarakan keresahan tersebut dengan nada setengah bercanda. Saulnier menyebut ketiganya secara informal sebagai “Inept Hero Trilogy” alias trilogi protagonis tidak becus.

Inept Hero Trilogy

Premisnya sederhana. Saulnier yang resah akan kebodohan karakter film horor/thriller justru menjadikannya bahan bakar untuk film-filmnya. Semua itu kemudian digandakan dengan survival instinct yang justru seringnya membuat karakter utama takabur. Pertanyaannya jadi lebih menarik: bagaimana kalau protagonis film horor/thriller bukan sekedar orang biasa-biasa saja, tapi orang kikuk/inkompeten/tak becus, atau apapun itu?

Hasilnya adalah tragicomedy yang susah untuk dilupakan. Momen-momen ketidakbecusan karakter film-film ini dengan mudah tersemen di kepala. Momen-momen tersebut juga yang sering menggerakkan plot film-film Saulnier dan, sering juga, menghasilkan solusi temporary yang membuat bergumam, “benar juga, ya.”

Dalam wawancara dengan Slash Film mengenai Green Room, sutradara asal Virginia, AS, ini mengungkapkan keresahannya tersebut. Menurutnya, penonton sudah terbiasa melihat karakter film horor memiliki “some kind of skill set” yang berevolusi dengan cepat, menjadikan mereka sesosok pahlawan. Karenanya, ia ingin menghadirkan karakter yang terasa lebih manusia biasa sekali.

Poin yang Saulnier sampaikan ini menarik kebenarannya. Kalau dipikir, seberapa beranikah ‘orang biasa’ untuk jalan sendiri-sendiri jika tahu ada pembunuh berkeliaran? Ke toilet sekolah sendirian saja seringnya masih berpikir dua kali. Kalau mau dipikir lebih lanjut lagi, seberapa banyak sih orang yang pernah memegang senjata api di kehidupan nyata? Memegang saja, tanpa menembakkannya. Kemungkinan besar, ‘orang biasa’ rata-rata belum pernah memegang senjata api (kecuali kalau hidup di negara bebas senapan seperti AS).

Macon Blair dalam Blue Ruin (2013).

Merayakan Ketidakbecusan

Awalnya, Saulnier nampak ingin mencurahkan keresahannya ini mentah-mentah dan nyaris tanpa tedeng aling-aling. Murder Party punya semua olok-olokan untuk ketidakbecusan karakternya. Saking niatnya, Saulnier yang juga menulis skenarionya bersama sahabatnya, Macon Blair (yang juga selalu bermain di filmnya), membuat semua karakternya naif (yang nantinya agak ia sesali karena resepsi yang kurang baik, ungkapnya dalam wawancara dengan Rolling Stone).

Sebagian besar karakter Murder Party bukan cuma tidak becus, tapi bodoh, kecuali protagonisnya. Bayangkan ada sekumpulan orang yang ingin menghadirkan performance art dengan cara membunuh orang berkedok pesta kostum Halloween. Protagonisnya (Chris Sharp) sendiri socially awkward dan kelewat naif. Akibatnya, ia harus melewatkan malam Halloween menghindari orang-orang bodoh yang berniat membunuhnya. “I just wanted to party!” ungkap Chris kesal.

DNA inept hero ini dibuat di Murder Party, namun diperhalus di film-film selanjutnya. Yang membuat ketidakbecusan protagonisnya tak nampak kental adalah kebodohan antagonisnya yang tak natural. Tapi, jika ingin menilik bagaimana orang biasa terjebak dalam pesta bunuh-membunuh, Sharp menghadirkannya dengan baik — menjadikan penampilannya benchmark bagi karakter-karakter selanjutnya.

Kemudian hadirlah Blue Ruin, epitom dari trilogi inept hero Saulnier yang telah dipoles. Protagonisnya adalah Dwight, seorang pria luntang-lantung dengan misi balas dendam yang diperankan Blair. Motivasinya membuatnya sedikit takabur; seolah-olah balas dendam itu hal yang mudah untuk orang kikuk sepertinya. Karakter seperti Dwight inilah yang terasa sangat relatable. Kalau saya tiba-tiba punya ide untuk balas dendam dengan metode nyawa-balas-nyawa, mungkin seperti Dwight ini kejadiannya. Tidak berpikir jauh, hanya sebatas impuls saja.

Tapi, karakter-karakter seperti dia lah yang menyadarkan kita bahwa bertahan hidup dalam film horor/thriller tidak semudah itu. Meskipun dapat revolver untuk melawan, belum tentu juga kita bisa pakai. Dwight ini buktinya, dan ia hidup di AS. Mungkin banyak yang tahu jika senapan yang dijual bebas punya sistem pengaman; tapi, bagaimana kita bisa tahu kalau pengaman itu terpasang? Kalau pun terpasang, bagaimana cara melepaskannya? Dwight nantinya akan learn it the hard way; jika ada dalam posisi yang sama, saya sepertinya sama saja.

Ada satu adegan dalam Blue Ruin yang susah sekali dilupakan. Ada momen saat Dwight terpanah sebuah crossbow ketika hendak kabur. Ia kemudian mencoba mengobati dirinya sendiri seperti di film-film lainnya; tapi, ia bingung mulai dari mana dan parahnya ia tidak berani mencabut anak panah itu. Jika di film lain, ketika kamera menyorot close up luka dan muka kesakitan karakter bergantian, biasanya setelah itu cut ke momen karakternya menahan rasa sakit sambil tending the wounds. Singkat kata, Dwight sadar bahwa semua itu tak semudah di film-film Hollywood dan ia menerima kenyataan bahwa tidak becus menangani lukanya sendiri. Akhirnya, ia pergi ke rumah sakit. Solutif.

Green Room menghadirkan situasi yang lain lagi. Karakternya bukan pengecut, tapi terlalu percaya diri, padahal tidak becus. Bayangkan saja, band punk yang dikomandoi Pat (almarhum Anton Yelchin) sok-sokan menyindir Nazi di gig Neo-Nazi skinhead. Sudah begitu, personelnya berlagak sok pahlawan tanpa berpikir masak-masak risiko yang bisa saja dialami. Sialnya, film ini adalah satu-satunya film Saulnier yang memilik antagonis yang benar-benar tertulis rapi. Dingin, klinis, dan tak kenal ampun.

Callum Turner, Joe Cole, Alia Shawkat, dan Anton Yelchin dalam Green Room (2015).

Tema besar dalam trilogi ini adalah karakter yang bertindak karena impuls, tanpa berpikir jauh ke depan. Yang pertama karena cuma ingin party; yang kedua karena tiba-tiba kepikiran untuk balas dendam; yang ketiga karena self-righteousness. Yang sering dilupakan karakter-karakter ini adalah: mereka ini orang biasa, dan orang biasa tidak terlatih untuk bertindak cepat serta tepat dalam krisis.

Sama seperti orang biasa lainnya, ketidakbecusan adalah hal normal. Tidak semua orang memiliki survival instinct yang sama kuatnya; dan, tidak semua orang punya kemampuan untuk bertindak kritis di dalam krisis. Sekalipun dikejar pembunuh dan tiba-tiba menemukan senapan, tidak semua orang bisa dan mau untuk menembak pemburunya. Hal inilah yang nampaknya ingin disampaikan Saulnier kepada penontonnya.

Menonton film-filmnya membuat kita sedikit lega sambil mungkin berpikir, “I’ll do exactly the same” ketika melihat karakternya bertingkah. Kondisi krisis seperti pandemi recently bisa jadi membuat penonton lebih terkoneksi ke karakter Saulnier-esque itu. Kita pikir kita sudah siap menghadapi pandemi, ternyata tidak sama sekali. Banyak hal yang terjadi di luar kontrol kita, pun ketika kita sudah antisipasi, tetap saja kita kelabakan menghadapi krisis ini.

Berkaca dari krisis global yang baru-baru terjadi ini, bisa jadi sekarang adalah saat yang tepat untuk menikmati dan meresapi film-film Jeremy Saulnier. Mungkin ini saat yang tepat untuk merayakan ketidakbecusan kita sebagai manusia biasa.

Featured article ini ditulis oleh Paskalis Damar yang sering menulis di sinekdoks.com dan @sinekdoks di Twitter.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s